Senin, 07 November 2022

REVIEW PERFECT STRANGERS (ADAPTASI FILM Perfetti Sconosciuti, 2016)

Helloooo. I’m back dengan review film yg selalu gak konsisten diposting haha.


Kali ini berhasrat banget mau bahas tentang salah satu film Indonesia yang baru aja rilis -- tapi sayangnya di OTT bukan di bioskop layar gede :/ -- judulnya, PERFECT STRANGERS. Jauh-jauh hari si pembuat film udah sounding ke masyarakat sinema layar perak kalo film ini tuh emang adaptasi dari film asal Italia yang berjudul Perfetti Sconosciuti atau yang kalo diterjemahin ya artinya sama, Perfect Strangers. Gw pun udah lama tau film aslinya, tapi gw gak pernah berani nonton film aslinya setelah gw liat trailernya, ada beberapa alasan sih kenapa males liatnya: 

Pertama, Bahasa yang dipake di sepanjang film itu Bahasa italia aja doooooong, ya maap-maap aja nih, nehi muhabate keyaho, alias gw gak ngerti bahasanya wkwk, eventho harus pake subtitle pun kayaaaaak… takut gak dapet feel-nya gitu loh, wkwk. Kedua, idk whats wrong sama casting director-nya, apa karena emang muka orang Eropa tuh tua-tua gitu ya, jadi cast yang dipake di film itu tuh tuaaaa-tuaaaa buangeeeet, kayak yg udah om-om tante-tante wkwk, tapi ya emang latar usia karakternya rata-rata udah 30 akhir menuju 40-an sih, so wajar aktor yang dipake udah (keliatan banget) berumur wkwk.

Lanjut,

Oke. Sebelum lanjut, seperti biasa review yang bakal gw bikin ini bakalan gw mix antara sinopsis, alur cerita (include spoilers) wkwk, dan review. Jadi, bagi kalian yang mau nonton ini tanpa tau spoilernya ya cukup skip aja nanti bagian akhirnya, krn akan ada twist seruu haha.

Gambaran singkat film ini sebenernya tentang acara makan malem bareng antar tujuh orang yang udah sahabatan lama banget, lebih dari 20 tahun, mereka adalah Enrico (Darius Sinathrya), Eva (Nadine Alexandra), Wisnu (Adipati Dolken), Imelda (Clara Bernadeth), Anjas (Denny Sumargo), Kesha (Jessica Mila), dan Tomo (Vino G. Bastian). Sebenernya, yang sahabatan lama dari kecil itu suami-suami mereka, yaitu Enrico, Wisnu, Anjas, dan Tomo, tapi berhubung sekarang si cowok-cowok itu udah pada nikah dan punya istri, jadilah istri-istri mereka jd saling bersahabat juga. Btw, semua bujang-bujang ini udah pada nikah, kecuali Tomo (haha, lucunya di hampir banyak kehidupan nyata, selalu ada temen yg ngejomblo begini pasti di setiap peer group).

Saking lamanya berteman, mereka ini kalo kumpul bener-bener asik, gak saling jaim. Masing-masing dari mereka juga karakternya beda-beda,


Enrico si anak cerdas, good looking, rapi, kalem, good boy, humoris tapi bukan yang sok asik atau selengek-an gitu, pokoknya kayaknya pas jaman sekolah, Enrico ini pasti kebanggaan guru-guru, banyak temennya, yg cool-cool pinter tapi baik, terus banyak cewek yg suka haha. Enrico ini kerja sebagai plastic surgeon atau dokter bedah plastik yang bisa dibilang lumayan sukses, karena dari penampilannya, keluarga Enrico ini terlihat wealthy sekaliii, tinggal di apartemen mewah dengan segala furnitur yg mahal, gaya berpakaian Enrico juga nunjukin banget strata sosialnya.

Eva, istri Enrico yang gak kalah sultan, dan emang sultan haha. Eva digambarkan sebagai Wanita karir kelas atas yang tegas, perfeksionis, sedikit dingin, rigid tapi bisa dengan ajaibnya luluh kalo udah sama Enrico haha, ya intinya kalo ngeliat Eva ini sedikit mengingatkan gw pada tokoh Bree Van de Kamp di serial Desperate Housewives, gimana kakunya dia terkadang, gimana perfeksionisnya sama anak dan segala sesuatunya dan selalu pengen terlihat sempurna (padahal deep down rapopo alias rapuh porak poranda wkwk). Eva bekerja sebagai terapis (bukan pijet) haha, tapi psychotherapist atau bahasa lokalnya ya, psikolog/psikiater gitu, jadi kesehariannya rutin praktik konseling, menghadiri seminar, dll intinya bantu orang feeling better, mentally. Padahal mental dia sendiri sedang tergoncang wkakak.

Wisnu, teman masa kecil Enrico yang sekarang sukses “banyak dosa” (mengutip sebutan dari istrinya sendiri) wkwk, alias kerja jadi pengacara/lawyer ibu kota yang udah mantap banget deh jam terbangnya. Wisnu ini tipikal temen yang straight to the point, mungkin krn profesinya yg pengacara jadi sifatnya terbentuk gak basa-basi, cenderung short-tempered, gak terlalu goofy juga kalo becanda, di antara karakter cowok lainnya, bisa dibilang Wisnu ini yang keliatan paling bapak-bapak banget perangainya krn gak seasik temen-temen lainnya kalo joking around. Wisnu juga gak kalah sultan dari keluarga Enrico, tinggal di rumah mewah dengan seorang istri, ibunya yang udah janda dan dua anak yang masih kecil-kecil.

Imelda, istri Wisnu yang gak terlalu banyak dijelasin profesinya apa, sepanjang film Imelda cuma dideskripsikan sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Imelda sendiri lagi aktif kursus bahasa Italia di sela-sela kegiatannya mengurus anak, walopun soal kursus bahasa ini sering memantik amarah Wisnu karena sifat Wisnu yang lebih logis, judgmental, driven, arguing kontras banget sama pembawaan Imelda yang lebih keibuan, laid-back, santai, artistik-linguistik (?) di mana menurut Wisnu les bahasa Italia itu sama sekali gak penting, terutama karena Imelda sering practice bahasa Italia di depan Wisnu, dan dia sama sekali gak paham apa yang diomongin wkwk.

Anjas (gak pake mara), another friend satu gengnya Wisnu dan Enrico yang paling playful. Anjas digambarkan sebagai karakter yang player, bad boy, suka gonta-ganti cewek (at least sampe akhirnya nikah dan dijinakkan sama istrinya, Kesha). Dari segi finansial, Anjas emang gak setajir dua orang temennya, Wisnu dan Enrico. Si Anjas ini Cuma kerja sebagai pengusaha yang gak sukses-sukses amat, wkwk. Mungkin karena mudanya bandel, jadilah si Anjas tanpa mara ini cuma kerja wirausaha sebagai pemilik salah satu café di Jakarta. Yaa walopun gak kaya-kaya amat, still Anjas masih bisa driving her wife with sedan BMW :))))    

Kesha, si karakter paling muda di antara member-member peer group suaminya yang rata-rata udah middle-aged: 30 akhir menuju 40-an haha. Kalo diliat-liat, si Kesha ini umurnya kemungkinan masih di bawah 35 tahun, keliatan lah mudanya dibandingin Imelda dan Eva. Di antara Enrico dan Wisnu emang Anjas yang paling terakhir nikah, jadi Kesha ini pengantin baru yang baru beberapa bulan dinikahin Anjas. Kesha berprofesi sebagai dokter hewan, karakternya paling santuuy khas cewek-cewek muda yg fun, baik hati, slightly polos, lovable, ngegemesin, sassy, clingy, yang pokoknya bikin Anjas yang usianya jauh lebih tua bisa ikutan bersikap manja-manja gemes ke dia.

Last but not least, Tomo si _ _ _ _, wkwkwk sensor dulu ah, gak seru kalo udah di-spoil di awal hahaha. Tomo ini karakter anak gendut tapi asik dan baik yang mostly ada di tiap kehidupan pergeng-an. Anak gendut yang selalu jadi tumbal, bahan bullyan temen-temen krn paling telat “berkembang” dan yaaaa… paling biasa lah di antara temen-temennya yang luar biasa tapi paling thoughtful. Tomo si cowok sensitive, baik, deket sama cewek-cewek, dan mungkin juga sering jadi tempat curhat mereka, kerja sebagai guru olahraga di salah satu SD swasta di Jakarta. Walopun ini bikin ngakak karena profesinya sbg guru olahraga yang harusnya punya badan sterek, atletis, atau mungkin musclely, berbanding terbalik sama perawakan Tomo yang aduhai gemoooy banget. Tomo yang berparas subur (walopun dibilang udah lebih kurusan menurut temen-temennya), gondrong, brewokan, sebenernya lebih cocok jadi copet/jambret atau kriminil sih dibandingkan jadi tenaga pendidik haha, dan si Tomo ini satu-satunya member grup yang masih lajang di antara mereka bertujuh. Tomo diceritain udah lama menjomblo dan lagi pendekatan sama pacar baru.

Well, cukup kali ya pengenalan tokohnya, karena di filmnya juga semuanya serba singkat dan mengalir gitu aja. Langsung pada ceritanya.

Adegan awal dimulai dari seorang Tomo yang lagi mau naik busway menuju suatu tempat. Tomo yang pake jaket kuning sambil dengerin siaran radio di handphone-nya pake headset akhirnya duduk di dalam busway, baru beberapa menit film berjalan si Tomo ini udah keliatan baik dan sensible-nya, dari cara dia ngasih tempat duduk yang baru banget dia dudukin ke ibu-ibu tua yang baru aja naik. Awwww baru scene pertama penonton udah dibuat jatuh cinta sama sosok sederhana Tomo.


Scene selanjutnya, kita dikenalin sama pasangan yang masih dalam honeymoon phase: Anjas dan Kesha. Yang hampir di sepanjang film, cuma dua manusia ini yang ciumaaaaan teroooosss wkwkwkwk, kayak dunia bener-bener milik berdua dah, tau deh yang lain ngontrak :)))) – di kediamannya, mereka pun siap-siap pergi ke suatu tempat, Kesha yang sambil nerima telepon dari I dunno who she called by “tante” dan ngejelasin segala tentang gimana caranya ngatasin kucing yg lagi rewel (fyi, she’s a vet), terus digoda sama suaminya, Anjas yang sepertinya can’t get his hands off her glamorous body, ya pokoknya scene ini cheesy-cheesy gimaneeee gitu, bikin jiwa kejombloanku meringis parau wkakakakak. Intinya sih, si Anjas pengen ngajak ngeue, dah itu aja. Haha


Berbanding terbalik sama suasana romantis di pondok mungil milik Kesha dan Anjas, di apartemen super mewah milik keluarga Enrico hawanya lagi kurang adem, Eva, istri Enrico lagi gelud sama anak remaja semata wayang mereka, Bella. Jadi, si Bella ini lagi masa-masa puber yang tau laah gimana, lagi seneng pacaran, hangout sana sini, sampe yang terparah dan memicu pertikaian antar keduanya saat Eva nemuin kondom di tas Bella. Sontak, Eva yang jelmaan Bree Van de Kamp (kalo kalian bingung siapa dan gimana tokoh Bree itu, coba liat serial Desperate Housewives), langsung konfrontir depan anaknya, gak cuma soal kondom, Eva juga bahas soal pacar Bella, si Jefri (bukan Nichol apalagi Woworuntu – sorry ya mbak Uthe, wkwk), yang katanya udah jadi mantan, dan segala pesan genitnya di aplikasi whatsapp, intinya si Eva ini lagi masuk fase khawatir sama pergaulan anak remajanya yang udah mulai “happy happy joy joy”. Tapi yang namanya anak lagi puber, diomelin gitu yang ada malah gigit balik hahaha, Bella ngerasa mamanya terlalu ikut campur urusan pribadinya, dan yeeaa dengan segala macem label gak asik lah, kepo lah, gak pengertian lah, dsbg (duuuh sabar yee Va), Bella juga ngomong kalo Eva itu sebagai ibu kebanyakan teori – teori buat orang-orang stress yang dateng terapi ke dia – Slebeeeew.

Eva yang lagi panas-panasnya ngehadepin Bella, tetiba ter-distract dengan kedatengan si ganteng dari gunung Merapi, wkwk gak lain dan gak bukan, ya suaminya, Enrico yang gantengnya kayak nabi haha. Enrico dateng sambil bawa satu paperbag coklat berisi sayur-mayur dkk, kek habis grocery gitu. Eva yang sadar suaminya pulang langsung bergegas bantu beres-beres belanjaan, walopun tetep pake muka cembetut karena masih kzl sama anaknya. Enrico yang sadar sama mimik gak kece istrinya langsung nanya “kenapa lagi?” macem udah tau persoalan yang sering dihadapi.


Gak lama kita diajak ngintip ke rumah milik keluarga Wisnu, si pengacara kelas kakap yang “banyak dosa” haha. Wisnu ini tinggal sama Imelda, ibunya, dan kedua anaknya Faiz dan Zuma: yang sulung masih SD dan yang bungsu belum SD. Later on, kita tau kalo ibunya Wisnu tinggal bareng mereka karena udah janda. Bisa juga si Wisnu ini anak tunggal, makanya dia kayak punya moral obligation gitu buat ngeboyong ibunya tinggal bersama. Kalo Eva bermasalah sama anaknya, si Imelda ini bermasalah sama mertuanya, yang gak lain ibunya Wisnu. Yahh seperti persoalan mainstream menantu-mertua yang tinggal satu atap, masalah utamanya pasti gak jauh-jauh dari pola asuh anak.

Layaknya nenek-nenek pada umumnya, ibu Wisnu sangat memanjakan cucu-cucunya, malam itu Imelda dan Wisnu juga sedang bersiap untuk menghadiri sebuah acara. Imelda yang mergokin anak bungsunya malam-malam makan permen lollipop sontak menegurnya, belum selesai menegur, ibu Wisnu menyela bahwa dialah yang memberikan permen lollipop susu ke putrinya. Mungkin si Imelda ini takut anaknya sugar rush dan jadi mogok makan nasi, langsung ngambil permen loli yang dimakan anaknya. Dari situ pokoknya penonton udah bs menebak gimana hubungan Imelda dan ibu mertuanya. Faiz, anak sulung Imelda yang juga sibuk bermain game gak luput kena tegur, tapi gak lama Wisnu datang dan membiarkan Faiz terus bermain game dengan dalih kalua besok hari sabtu jadi anak-anak bebas tidur agak larut. Tapi di sini terlihat Wisnu masih punya kontrol di kehidupan parenting mereka, jadi Imelda terkesan manut sama suaminya. Gak lama mereka bergegas untuk pergi dengan membawa Lagsana sebagai buah tangan. Awalnya penonton pasti dibuat heran karena sutradara menyelipkan scene Imelda mengganti celana dalamnya sesaat sebelum berangkat pergi dengan Wisnu.


Kembali ke apartemen Eva dan Enrico, dan mereka masih arguing soal anaknya Bella. Eva ceritanya curhat ke Enrico tentang Bella yang masih menjalin hubungan dengan si Jefri boy, Eva mengutarakan ketidaksetujuannya dengan Jefri krn menurutnya Jefri itu anak yang gak punya masa depan, you know ortu selalu idealis dgn pilihan terbaik utk anaknya, termasuk Eva. Tapi di sisi lain, mas ganteng alias bapak Enrico, bersikap lebih demokratis. Enrico bilang kalo semasa pacaran dulu, dirinya dan Eva juga jauh dari kata direstui sama orang tua Eva. Enrico yang bukan dari keluarga berada tapi karena cerdas dan ulet makanya bisa jadi kaya, haha, menyadari bahwa pengalaman pahit itu adalah guru yang berharga, makanya dia gak terlalu strict sama Bella, karena dari kehidupan itulah Bella akan belajar.

Eva akhirnya cerita ke suaminya kalo dia nemuin kondom di tas Bella, kekhawatirannya makin menjadi, dia gak mau Bella salah pergaulan dan akhirnya menemui penyesalan. Menanggapi hal itu, Enrico justru bersikap kontra, menurutnya Eva terlalu melanggar privasi Bella dengan merogoh isi tasnya tanpa izin. Yaa pokoknya si mas ganteng ini tipikal papa-able yang selalu hangat dan belain anak perempuan satu-satunya, luvvv banget sama Darius di sini sumpahhhh GAAAHHHH.

Malam itu intinya akan sedang terjadi gerhana bulan, yang menurut mitosnya, gerhana bulan ini membawa banyak hal negatif: mulai dari tanda akan ada bencana, akan terjadi pertengkaran sampai akan muncul sesosok makhluk jahat yang akan menimbulkan kekacauan. Fast forward, ternyata Tomo, Kesha dan Anjar serta Wisnu dan Imelda malam itu bersiap untuk pergi ke satu tujuan yang sama, yaitu apartemen Eva dan Enrico. Sudah 6 bulan sejak kepindahan Eva dan Enrico ke rumah baru, dan malam itu mereka mengadakan house warming untuk rumah baru mereka dengan mengundang para sahabat-sahabatnya itu.

Wisnu dan Imelda menjadi tamu pertama yang datang, mereka disambut oleh Enrico yang disusul Eva. Imelda membawa Lasagna asli Italiano sebagai jamuan untuk makan malam bersama mereka. Sedikit chit-chat ringan, gak lama Anjas dan Kesha menyusul datang membawa “the famous Kesha’s Tiramisu”, tetap sama disambut hangat sama Enrico disusul temen-temen lainnya. Gak cuma tiramisu, Kesha dan Anjas juga ngasih kado kecil berupa difusser buat Eva dan Enrico, lucunya, label harga pada difusser tersebut sengaja gak dicopot sama mereka biar tuan rumah tau kalo harganya mahal hahah. Maklum, si Eva sama Enrico ini keluarga tajir melintir banget, dan sosok Eva yang gampang judgy sama barang-barang murah/KW akhirnya bikin Kesha risih dan akhirnya mutusin buat ngebiarin label harganya diliat wkakakak.


Setelah tiga pasutri ini berkumpul, tau lah yang digibahin siapa??? Siape lagi kalo bukan satu tamu undangan yang belom dateng, Tomo. Tomo berencana dateng sekaligus ngenalin pacar barunya ke sahabat-sahabatnya itu, jelas mereka semua pada excited buat liat cewek barunya Tomo dan gak sabar buat menyambutnya untuk bergabung dengan grup pertemanan mereka. Semua pada sibuk tebak-tebak buah manggis kayak apa sosok wanita yang akan dibawa Tomo. Para cewek positive thinking gadis yang dibawa Tomo bakalan cantik dan baik, sebaliknya cowok-cowok pada ngeledekin kalo gak mungkin seorang Tomo bakal dapet pacar cantik kayak istri-istri mereka, karena dari bentuk badannya aja Tomo bukan tipikal cowok good looking yang gampang dapet cewek cantik.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu dateng juga, bel apartemen Enrico berbunyi tanda kalo Tomo sudah sampai depan pintu. Mereka semua bergegas menyambut Tomo persis di depan pintu masuk, dan boom!, Tomo dateng Bersama sebuah janda bolong. Haha iya, tanaman janda bolong yang sumpah gemeeess bangeeeeet, Tomo dengan perawakan yang besar bawa taneman janda bolong yang imut-imut. Tentu semua temen-temennya pada bertanya ke mana pacar Tomo yang katanya Bernama Daniella. Tomo bilang bahwa pacarnya tiba-tiba demam jd gak bisa bergabung makan malam bersama mereka. Semua kecewa karena batal bertemu pacar Tomo yang sudah dinanti-nanti, tapi yaaa at the end Tomo tetap disambut hangat sama mereka.


Makan malam mereka malam itu dimasak spesial sama Enrico, yang seperti celetukan Wisnu kalo Enrico ini lebih cocok jadi chef daripada plastic surgeon, haha karena masakannya enak banget. Enrico masak mushroom soup yang dibuat pake white truffle, jamur sultan yang per 100gr harganya bisa 5 juta aja bunda :’) again, emang keluarga sultan ini si Enrico sama Eva. Mushroom soup disajikan hangat dengan roti baguette asal Prancis buat appetizer, main course dengan kudapan lobster yang harganya cuma bisa bikin geleng-geleng, dilanjutkan dengan Lasagna asli Italiano buatan Imelda, dan akan ditutup pake egg tart buatan Eva dan the famous Kesha’s Tiramisu sebagai dessert. Sounds perfect, huh? Tapi gak lebih perfect dari permainan mereka malam itu, bukan Perfect Strangers judulnya kalo semua mulus-mulus aja haha.

Sekitar 15 menit pertama, makan malam mereka masih adem-adem aja, semua seneng semua happy, terutama karena tuan rumah menyambut mereka dengan masakan yang luar biasa enak. Percakapan yang terjalin juga masih hangat, ngobrolin soal temen mereka (yaa biasa lah kalo kumpul-kumpul gitu suka gibahin orang lain yang gak ada, haha), terus ngobrolin soal Bella, anak Eva dan Enrico yang sekarang udah tumbuh remaja dan makin cantik, ngobrolin seputar kerjaan dan bisnis, semuanya masih berbalut canda tawa yang hangat. Sampai akhirnya, mereka bahas lebih dalam soal Abi dan Rini (salah satu pasangan yang juga temen mereka) yang gak dateng ke acara dinner itu. Abi diketahui lagi ketahuan selingkuh, sehingga hubungannya sama Rini jadi bermasalah. Masing-masing dari mereka saling arguing soal siapa yang salah dan penyebabnya tidak lain adalah handphone. Kemudian ide iseng muncul dari bibir Eva: “Gimana kalo kita bikin permainan?”


Dan yes, dari kalimat pembuka itu udah tau kan arahnya bakal ke mana? Tepat. Mereka mainin sebuah game di mana masing-masing mereka ngumpulin hapenya di tengah meja, semua chat, telepon, email, apa pun yang masuk bakal dibaca bersama dan di-share sama yang lain. Semua terlihat panik dan memandang bisu ke Eva sebagai pencetus ide, gak terkecuali suaminya, Enrico.

Orang pertama yang menanggapi ide itu tentu aja si playboy, Anjas dengan bilang kalo itu ide yang buruk. Dan orang yang pertama menyetujui ide permainan itu gak lain adalah Tomo. Dengan gentle Tomo naruh aja gitu hapenya di atas meja. Reaksi santai Tomo diikuti oleh Kesha yang juga menaruh hapenya di atas meja. Singkat cerita, yang lain jadi pada terpengaruh untuk melakukan hal yang sama, yaaa itung-itung seru-seruan aja mungkin.

Selama permainan berlangsung banyak kejadian yang terjadi dan terungkap hanya dari sebuah dering hape. Milik Anjas yang pertama berbunyi, chatnya berasal dari nomor tidak dikenal yang isinya “I WANT YOUR BODY” HAHAHAHA panik gaaak panik gaaak panik laaaah wkwk. Gak lama hal itu terungkap bahwa chat itu berasal dari Enrico yang iseng ngerjain Anjas. Tapi muka panik Anjas emang gak bisa ditutupin, lucu pokoknya.

Seiring waktu berjalan dering hape selalu bunyi bergantian. Dari mulai Tomo yang ditelepon sama ibunya yang ngabarin kalo ada sekolah di Bali yang lagi cari guru olahraga, dari situ temen-temennya samua tau kalo Tomo baru aja dipecat dari sekolah tempat dia ngajar sekarang. Dipecat karena apa? You’ll see.

Selanjutnya giliran hape Eva yang berdering, aman… karena itu telepon dari papanya, tapi selanjutnya malah jadi gak aman setelah papa Eva yang juga berprofesi sebagai dokter, melalui telepon, rekomendasiin Eva untuk melakukan operasi sama Prof. Rendy, dari situ juga khalayak semeja makan jadi tau kalo Eva mau operasi gedein payudara. Wisnu nyeletuk kalo kenapa gak Enrico aja sendiri yang operasi Eva, rupanya celetukan Wisnu itu yang justru membuka semuanya, gimana hubungan Enrico dengan ayah mertuanya, juga hubungan antara Enrico dan Eva itu sendiri.

Wisnu pun gak luput dari ancaman hapenya. Menyadari kalo ada rahasia yang dia tutupi, Wisnu sepik-sepik sama Tomo buat bantuin dia menghindar dari masalah. Hape Wisnu dan Tomo yang bermerek dan bertipe sama ngebuat Wisnu berpikir untuk menukar hape mereka karena takut ada rahasia yang terungkap. Lagi-lagi di sini penonton akan dibuat jatuh cinta sama Tomo karena sensible dan thoughtful-nya. Wisnu terpaksa menceritakan masalahnya demi mendapat simpati Tomo dan akhirnya membuat pria subur itu mau ngebantuin. Dan seperti yang bisa diterka, Tomo bersedia menukar hapenya dengan Wisnu agar temannya itu gak ketauan selingkuh sama wanita lain di dunia maya.


Sesaat kemudian hape Imelda berdering, tertera jelas nama di penelepon “Lucciano Pavarotti”, turns out itu temen kursus bahasa Italia Imelda. Di telepon mereka ngomong pake bahasa Italia yang gak dimengerti sama semua orang semeja, termasuk suaminya si Wisnu yang makin jengkel aja denger Imelda ngomong bahasa Italia. Intinya, menurut Imelda temennya itu ngehubungin soal mereka yang janjian mau belajar bareng whatsoever gitu lah. Sebenernya, masalah Imelda dateng bukan dari telepon si Lucciano, melainkan dari email yang gak lama masuk setelah itu. Email dari panti jompo yang mengabarkan kalo ada slot kosong untuk diisi sama lansia. Oke bisa ditebak lah yaa hal ini mengarah ke mana? Yup ke ibu mertua Imelda yang gak lain ibu si Wisnu. Imelda diam-diam reservasi tempat buat masukin ibu mertuanya ke panti jompo, sontak hal itu memicu pertikaian antara Imelda dan Wisnu di meja makan.

Makin lama mereka bermain semakin banyak hal yang terungkap, mulai dari Wisnu, Anjas dan Enrico yang ngebuat grup futsal baru tanpa mengikutsertakan Tomo sehingga Tomo sendiri merasa dikhianati sama sahabat-sahabatnya sendiri. Adanya kiriman foto bugil di hape Wisnu (yang seolah-olah untuk Tomo – karena td tukeran hape), sampe muncul juga chat mesra dari teman laki-laki Tomo (yang sebaliknya dikira buat Wisnu). Sampe situ aja adegannya udah ancur-ancuran. Si Wisnu yang sebenernya ada affair online sama cewek yang lebih tua malah disangka gay sama istrinya dan temen-temen lainnya karena chat mesra dari Deni (yang diceritakan sebagai Daniella oleh Tomo). Sampe situ paham gak ya? Haha.


IKLAN BENTAR….

SPOILER (Skip aja kalo males)

Tomo sebenernya gay, dia menjalin hubungan dengan temen cowoknya yang bernama Deni. Namun biar gak obvious, Tomo mengganti nama Deni jadi Daniella dan menginfokan teman-temannya bahwa Daniella adalah pacarnya.

 

LANJOOOT :)

Permainan gak selesai sampe di situ, Anjas yang belom kebagian jatah apes akhirnya dapet chat masuk dari Juwita, asisten manajer di cafenya Anjas. Isi pesannya “penting” pake tanda seru tiga. Awalnya semua gak curiga, yaaa curiga sih, tapi Kesha langsung speak up buat Anjas, ngejelasin kalo Juwita itu Cuma rekan kerja Anjas dan secara appearance juga bukan seseorang yang perlu dikhawatirkan karena Kesha bilang “penampilannya kayak mbak-mbak dan sama sekali bukan selera Anjas”, yeeeaaa once more, you’ll see ;) Juwita ini terus membombardir hape Anjas, kayaknya emang beneran penting, tapi ya dicuekin aja sama si Anjas.

Juwita bukan satu-satunya ancaman serius buat rumah tangga Anjas yang baru seumur jagung, telepon dari Koh Asun lah yang membongkar semuanya. Jadi si Koh Asun ini pemilik toko perhiasan di mana Anjas beli cincin buat Kesha, entah kelepasan atau apa, si Koh Asun ini menanyakan soal anting juga yang dipesan Anjas, sontak semua terkejut karena Kesha menaruh curiga. Intinya, anting itu bukan buat Kesha karena Kesha alergi pake anting (wkwk rada kocak sih gw liatnya), you know what anting itu buat siape?? Juwita? BUKAAAN. Antingnya dipake sama Evaaaaaa. Jadilah terungkap kalo Eva ada affair sama Anjas (aduh di sini gw juga rada bingung sih dan semakin ruwet), gak dijelasin juga itu affair-nya gimana, ya pokoknya gitu dah.



Gak lama Koh Asun telepon, si Juwita juga telepon lagi, dan ngaku kalo dia hamil anak Anjas. HAHAHAHA mantep gak tuh, udah kayak combo jackpot semua terbongkar. Kesha yang ngambek, pergi ke toilet sambil muntah-muntah (bagian ini gw juga bingung kenapa orang kalo lagi di puncak emosi, tertekan or emotionally unstable suka kebelet gumoh gitu wkwk, gw berasumsi Kesha muntah karena saking jyjyck-nya sama si Anjas hahah).

Masih inget adegan di awal pas Imelda ganti celana dalem waktu mau berangkat ke apartemen Eva? Yup, jawabannya ada melalui sebuah pesan singkat dari hape Imelda. Chat tersebut datang dari pria bernama Aldi yang berisi bahwa dia mau lihat celana dalam yang dipakai Imelda. Hal itu dipergoki langsung oleh Wisnu dan memicu pertengkaran lainnya. Ternyata selama ini Imelda diam-diam menjalin hubungan terlarang di facebook dengan seorang lelaki bernama Aldi, yang mungkin fetish-nya itu celana dalam wkwk, mbuh lah menuju bagian akhir makin chaos aja film ini.

Sampe sini mau tarik napas dalem-dalem rasanya. Mereka yang bermasalah gw yang engap, mereka yang punya rahasia tapi gw yg deg-degan. Yah begitulah permainan ini mengacaukan segalanya. Game buka isi hape yang tadinya cuma ide iseng dari Eva berakhir tragis. Tomo ketahuan gay, Wisnu dan Imelda sama-sama selingkuh online, Eva dan Enrico di balik kesempurnaan hidupnya ternyata punya krisis pernikahan, dan Anjas si anj--- harus rela kebongkar kalo dia masih tetaplah anjas yang buas, playboy, yang gak pernah cukup dengan satu wanita.


Tapiiiiiii, film ini gak berakhir tragis kok, haha. Kok bisa???

Bisa. Itu gunanya twist :)

Bagi yang mau tau twist-nya silakan lanjut baca, kalo gak mau ya skip aja yak.

 

PLOT TWIST ENDING

Setelah semua situasi jadi chaos, Imelda mutusin untuk keluar apartemen Eva dan Enrico dan pulang sendirian, Kesha masih ngambek di kamar mandi, tersisa Tomo, Wisnu, Anjas, Enrico dan Eva di ruang makan. Setelah semua terbongkar, Tomo akhirnya coming up ke temen-temennya kalo dia gay. Tomo merasa harus merahasiakan jati dirinya yang sebenarnya agar tetap bisa diterima sama temen-temennya, terutama Anjas yang paling jijik dengan pria homoseksual. Pokoknya di scene ini Vino G. Bastian all out banget meranin Tomo yang deep down punya luka batin. Yang harus sembunyi dari identitas sebenarnya, yang harus membaur dengan temen-temennya yang udah pada nikah semua dan STRAIGHT, yang harus menerima bahwa secara pekerjaan dia gak sementereng temen-temennya yang sukses dan wealthy, bahkan dipecat sama sekolah yang udah jadi tempat mengajarnya selama 10 tahun hanya karena dia ketahuan punya orientasi seksual yang berbeda dari yang seharusnya. Pada akhirnya, Tomo just being himself, dia berdamai dengan segala trauma dan bullyan masa kecil.

Setelah itu akhirnya semua saling merenung atas keputusan bodoh mereka untuk melakukan permainan tersebut. Ya, permainan bodoh, sebodoh Anjas yang baru menyadari kalo Kesha masih di kamar mandi (gw takut itu anak saking depresinya, pingsan lagi kebanyakan muntah wkwk). Anjas berulang kali mengetuk pintu kamar mandi berharap Kesha baik-baik aja, tapi dasarnya Anjas kebanyakan gaya, Tomo yang menghampiri justru gak banyak basa-basi, dengan badan besarnya langsung bagaikan hero langsung action mendobrak pintu kamar mandi. Dan setelah pintu terbuka, di sana Kesha bukan pingsan bukan tidur juga wkwk, tapi lagi pake gincu wuaaak, gincunya merah banget kayak mau fesyen show wkakak. Kesha sudah lebih tenang, tapi masih kental dengan raut kecewa dan sakit hati karena perbuatan suaminya. Kesha bilang kalo selama dia di kamar mandi, ibunya Anjas telepon ke dia dan Kesha menjawab kalo sebentar lagi ibunya itu bakalan punya cucu, ibu Anjas terdengar senang menyambut kehadiran cucunya tanpa tau kalo anak itu bukan dikandung sama Kesha.

Bahasa tubuh Kesha menyiratkan perpisahan dengan Anjas, dan sebelum melangkah pergi dari apartemen Eva, Kesha mencium pipi Tomo dan mengucapkan bahwa keputusan Tomo tepat untuk gak ngenalin Deni pacarnya ke mereka. Damn. Another rahasia terungkap, bahwa Kesha sebenarnya udah tau kalo Tomo gay, tapi dia ikut menyembunyikannya dari teman-teman lainnya karena Tomo begitu baik (sorry reyhan, kamu kalah baik sama Tomo hahaha).

Sambil berlalu pergi, Kesha melepas cicin kawinnya dan muterin cicin itu di atas meja makan sebagai simbol keinginannya berpisah dari Anjas. Semua tertegun dan kamera off. 


Scene selanjutnya tinggal lah Enrico dan Eva (karena semua udah pada pulang). Enrico memakan tiramisu cake yang tersisa diikuti Eva yang memeluknya dari belakang. Scene ini juga nyeesss banget. Betapa mereka berdua, Enrico dan Eva seperti rekonsiliasi hubungan mereka, Enrico yang diam-diam konseling dgn terapis dan Eva yang memutuskan operasi payudara dengan dokter bedah lain menyiratkan bahwa masing-masing dari mereka punya trust issue satu sama lain. Dan suapan Enrico kepada Eva mengakhiri semua IF ONLY yang terjadi di sepanjang film.


Ape?? Gimanee???

IYAAAA. Jadi permainan itu sebenernya gak pernah terjadi karena Enrico menolaknya sedari awal. Semua kekacauan yang terjadi selama kurang lebih hampir 2 jam adalah if only atau semacem bayangan kalo permainan itu beneran dilakukan. Yang masih gw gak paham, if only ini dari sudut pandang siapa? Eva kah? Atau dari sudut pandang penonton? Better tanyakan ke sutradaranya yeee wkwkwk.

Meskipun itu if only, tapi semua rahasia yang terbongkar nyata adanya alias beneran kejadian, cuma si pencetus film originalnya memutuskan buat bikin plot twist supaya endingnya tetep baik-baik aja, dan semua rahasia jahanam itu tetap tersimpan pada tempatnya dan gak terbongkar. Semua senang semua tenang dooong… :)

Scene penutup menunjukkan Kesha yang keluar dari apartemen Enrico dan Eva, disusul sama Anjas. Mereka berdua dengan mesranya melihat gerhana bulan yang indah di langit sambil (teteup) making out haha. Kesel gak sih liat mereka cipokan terus haha. Kemesraan mereka diinterupsi oleh Wisnu dan Tomo yang menyusul keluar apartemen sambil menggoda si pengantin baru itu. Imelda yang udah dengan risaunya menunggu Wisnu di mobil karena udah dapet telepon dari mertuanya kalo anak mereka gak bisa tidur berteriak dari kejauhan meminta suaminya untuk bergegas pulang. Tomo? Kesha dan Anjas manwarkan Tomo untuk pulang bersama dengan mobil Anjas, tapi Tomo memilih untuk pulang sendiri pake MRT. They all look so happy dengan dinner yang baru aja mereka datangi.


Scene berpindah ke dalam apartemen Enrico dan Eva. Enrico yang sedang berdiri di balkon sambil memandangi bapak tua di gedung seberang apartemen berucap kepada istrinya kalo dia gak mau hidup sendiri seperti bapak tua itu. Eva pun mengiyakan, mereka bersebelahan menyandar di balkon sambil memandang langit indah malam itu. Dari belakang Bella yang berteriak setengah menangis menghampiri Enrico dan memeluk Eva. Bella akhirnya menyadari bahwa Jefri bukanlah pria baik yang pantes buat dipacarin, Eva menyambut hangat pelukan anaknya serta membelai dan mengusap kepala Bella yang menangis. Scene ini nyess banget sih karena diiringi lagu “Sulung"-nya Kunto Aji yang mendayu lembut. Intinya, sekesel-keselnya anak sama ibunya, toh kalo ada apa-apa pasti akan balik ke ibunya. Sama dengan Bella dan Eva, tapi dalam kasus ini, ada campur tangan Enrico yang dengan kedewasaan dan kesabarannya, bisa meluluhkan hati anak dan istrinya agar bisa sama-sama kembali saling mengerti dan memahami.

 



THE END.  



Markiview~

Mari kita review :)

Gw bisa bilang Perfect Strangers adalah salah satu film dengan latar set sempit terbaik yang pernah ada. Paolo Genovese sebagai sutradara film aslinya sukses banget bikin film yang setnya di situ-situ aja bisa menarik dengan segala dialognya. Seperti yang diketahui bersama, tantangan bikin film yang setnya terbatas itu adalah ancaman rasa bosan penonton, dan Genovese sukses mengubah stigma itu.

Oke, sekarang kita beralih ke versi adaptasinya. Sebenernya film Perfect Strangers ini udah banyak diadaptasi sama negara-negara lain seperti Spanyol, Korea Selatan, dan Meksiko sebelum akhirnya dibikin versi Indonesianya. Tapi, my personal opinion, dari semua adaptasi yang pernah dibikin sama negara lain, adaptasi Indonesia paling bagus dan pas dari segala sisi. Mungkin juga karena dibuat paling terakhir jadi si versi Indonesia ini bisa dibilang paling komplit. Alim Sudio sebagai scriptwriter dan Rako Prijatno as a director sangat jeli dan membuat Perfect Strangers versi Indonesia jadi sajian film yang menarik, tetap orisinil, adaptif dengan kultur Indonesia dan yang terpenting ngena dan dapet banget inti cerita yang mau disampaikan ke penonton.

Kehebatan Rako dengan sederetan film-film bioskop yang pernah disutradarai serta kelihaian Alim Sudio menulis skenario sama sekali gak membuat gw kecewa akan hasilnya, malahan versi lokal ini yang akhirnya malah membuat gw penasaran untuk liat versi aslinya. Jujurly, karena Perfect Strangers ini aslinya dibuat sama orang Eropa dan pada awalnya diadaptasi oleh sesama negara barat, jadilah kultur yang dipake cenderung bebas kebarat-baratan, dari segi jamuan makan malam yang memakai wine, hubungan pasutri yang lebih bold dan vulgar, sampai ke style berkonflik yang lebih offensive dan berani. Itu semua tampaknya gak serta merta bisa diadaptasi oleh kultur kita.

Butuh penyesuaian, salah satunya scene-scene mesra Anjas dan Kesha gak bisa segamblang film aslinya atau adaptasi luar yang lebih gahar. Karakter tokoh anak Eva juga dibuat lebih santun, meskipun diceritakan “bandel”, berbeda dari karakter aslinya yang bener-bener troublemaker, juga scene buah tangan yang dibawa Anjas dan Kesha serta Tomo dibuat lebih dekat dengan kultur kita, berbeda dari aslinya yang seharusnya membawa wine, Alim memilih difusser dan tanaman hias sebagai gantinya, setelah dipikir-pikir yaa emang cocok buat sahabat yang baru pindah rumah.

Bahkan, kalo dibandingkan sama adaptasi punya Korea pun, gw bisa bilang versi Indonesia lebih bagus (yaaa mau apple to apple maksudnya karena sesama negara Asia), entah kenapa menurut gw versi Korea terlihat lebih kaku dan kurang hidup, walopun pemainnya relatif cakep-cakep haha.

Versi Indonesia ini juga bisa dikatakan komplit karena menyatukan berbagai macam scene dari adaptasi yang pernah dibuat, misalnya aja scene ketika Eva menarik Anjas ke kamar dan ngebalikin anting yang dikasih Anjas, versi aslinya Eva diharuskan meludah ke Anjas, tapi di versi lokal kita akan liat bahwa Eva menampar pipi Anjas dan bukannya meludah. Dan opsi menampar pipi ini sebelumnya udah dipake sama versi Korea. Tim scriptwriter juga membuat Perfect Strangers versi Indonesia menjadi karya adaptasi dengan berbagai sentuhan drama yang relate dengan kehidupan orang Indonesia sehari-hari, seperti adegan pembuka yang menunjukkan Tomo sedang menaiki busway, juga ending akhir yang dibuat lebih bijaksana dengan menempatkan tokoh Enrico, Eva dan Bella sebagai center of attention.

Dari departemen art, versi lokal juga punya set decoration yang bagus, lokasi dinner mereka yakni di apartemen Eva dan Enrico dibuat semewah mungkin dengan pencahayaan terang tapi tetep cozy dan enak aja buat dilihat, dekorasi set dibuat selaras dengan kepribadian Eva dan Enrico yang organized dan neat. Dari segi wardrobe juga gak berlebihan, semua berbusana sesuai dengan karakter dan profesinya. Anjas dan Kesha yang lebih muda dan kasual, Eva dan Enrico yang formal dan elegant tapi tetap modest, Wisnu dan Imelda yang terlihat sangat stylish juga Tomo yang bener-bener simple dan kasual.

Selesai bahas soal teknis, lanjut kita dedah dari segi pendalaman karakter dan aktingnya. Sebenernya di sepanjang film gak ada tokoh yang benar-benar baik atau benar-benar jahat, mereka semua stick in the middle antara baik dan buruk, masing-masing punya alasan untuk menutupi rahasia. Tapi, kalau pun harus menunjuk siapa karakter protagonis di sini mungkin pilihan itu jatuh ke pada Tomo, Kesha, dan Enrico. Meskipun mereka bertiga juga punya rahasia, tetapi itu tidak serta-merta merusak hubungan dengan pasangannya maupun merugikan orang lain. Yaa walopun begitu, toh rahasia mereka bertiga tetap bisa berpotensi memicu konflik tersendiri.

Akting tebaik menurut gw jatuh kepada Vino G. Bastian, selain harus merelakan wajah gantengnya dirombak jadi brewokan gak jelas dan badannya didempul sana-sini biar terkesan beneran gendut, Vino bener-bener sukses menghidupkan tokoh Tomo yang kalo kita liat sepanjang film jauh banget dari image Vino yang ganteng, tinggi, dan cakep paripurna. Vino bener-bener bertransformasi jadi sosok Tomo yang cuek, doyan makan, goofy, humoris, dan yaaa sering jadi bahan ledekan teman-temannya.

Denny Sumargo gausah ditanya lah ya, dia kayaknya emang meranin dirinya sendiri sepanjang film. Darius selalu sukses jadi karakter yang kalem dan papa-able :”) Jessica Mila dan Clara Bernadeth juga bermain ciamik, gak berlebihan dan gak bad juga. Adipati Dolken, haha resenya dapet banget, asli ini orang darahnya gampang mendidih, persis pengacara-pengacara. Lucunya, si tokoh Wisnu ini kan diceritain emang udah lumayan berumur, sedangkan Adipati yang aslinya masih muda akhirnya menuakan diri dengan nyemir rambutnya abu-abu biar keliatan sedikit ubanan, that’s another whole new effort LOL. Nadine Alexandra yang secara visual udah “highclass” lumayan dapet sih soal fierce dingin-dinginnya Eva. Semua main bagus lah intinya, gak salah pilih cast. Kalo ada penghargaan untuk ensemble terbaik, gw jagoin cast Perfect Strangers buat nyabet piala itu, karena mereka bermain bagus as a group, not just individually.

Hal lain yang gw suka dari film ini adalah soundtrack dan scoring-nyaa, 9 out of 10. Suka banget gimana film ini dibuka dan ditutup sama suara khas Yura Yunita dan di scene penutup diselingi alunan lembut Kunto Aji. Lagu Sudut Memori dari Yura rasanya pas menggambarkan malam yang penuh dengan rahasia, sementara lagu Sulung milik Kunto waaaaah parah siiiih nyeesss banget rasanya buat jadi latar waktu Enrico dan Eva sama-sama menatap langit malam setelah acara dinner. Ya, Cuma dua lagu itu yang ada di sepanjang film tapi entah kenapa cukup buat puas karena kehangatan alunan musik dua musisi hebat itu.  

Sempat terbersit di benak gw kalo mungkin gak sih Perfect Strangers ini dibuat sekuelnya? Atau setidaknya spin-off atau prekuelnya lah haha. Tapi kayaknya kalo sekuel rada engga mungkin, soalnya inti filmnya udah selesai di 2 jam 6 menit. Kalau misalkan dibuat sekuelnya, agak aneh karena gak mungkin kan dibuat permainan ulang soal buka hape-hape itu?, atau misalkan mau dilanjutkan bagaimana mereka terus menyembunyikan rahasianya sampe terbongkar satu per satu dengan sendirinya, jatohnya malah jadi another drama, bukan lagi Perfect Strangers.

Kalo opsi prekuel kemungkinan masih bisa dibikin, in case penonton penasaran sama kisah awal mula mereka berteman atau keseharian mereka yang ditunjukin lebih dalam. Jujur sih gw penasaran sama hubungan Eva dan Anjas, kenapa mereka bisa ada affair, atau gimana kok Anjas bisa ngasih anting ke Eva, pak sutradara kami perlu penjelasan!! Hahaha.

Ya, over all Perfect Strangers ini salah satu adaptasi film yang sukses, bahkan melebihi ekspektasi gw sebelumnya. Seperti pesan yang disematkan di sutradara di after credit versi Korea:

Manusia sesungguhnya hidup dalam 3 kehidupan:

Pertama, kehidupan umum,

Kedua, kehidupan pribadi, dan

ketiga kehidupan rahasia.   

 

Bintang 5 untuk Perfect Strangers.

Kamis, 01 Juli 2021

REVIEW TRILOGI BEFORE (Before Sunrise, Before Sunset, Before Midnight)



Okay. Kalau ditanya kenapa akhirnya gw memutuskan untuk nonton trilogi ini (meskipun tbh gw bener-bener bukan salah satu penikmat trilogi), oke kalau kondisinya sebuah film punya satu sekuel, hanya satu. Tapi kalo lebih dari satu itu tentu tantangan buat penggagasnya.

Mungkin ini terkesan subjektif dan sama sekali ngga ilmiah, tapi kebanyakan problematika film yang punya sekuel adalah, kalo film pertamanya itu buagus buanget, biasanya film lanjutannya/sekuelnya gak lebih bagus dari film pertamanya. That’s true. Sebutin, misalnya film lokal aja: Sang Pemimpi, Edensor (sekuel Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta 2 (sekuel Ayat-Ayat Cinta), Arisan! 2 (sekuel Arisan!), AADC 2 (sekuel AADC), Eiffel I’m in Love 2 (sekuel Eiffel I’m in Love), My Stupid Boss 2 (sekuel My Stupid Boss), Love for Sale 2 (sekuel Love for Sale), Hanum & Rangga (sekuel 99 Cahaya di Langit Eropa), Rudi Habibie (sekuel Habibie & Ainun),  dll

Gak Cuma produksi dalam negeri, sekuel film Hollywood menurut gw juga salah satu hal yg tricky buat diproduksi, terutama Ketika film pertamanya tuh beyond words bagusnya. Sebut aja sekuel-sekuel kayak: Jumanji: The Next Level & Jumanji: Welcome to The Jungle (sekuel Jumanji), Home Alone 4 & 5 (sekuel Home Alone), Finding Dory (sekuel Finding Nemo), Spiderman 3, Spiderman: Far from Home & Spiderman: No Way Home (sekuel Spiderman), Bridget Jones’s Baby & Bridget Jones’s: The Edge of Reason (sekuel Bridget Jones’s Diary), Legally Blonde 2: Red, White & Blonde (sekuel Legally Blonde). Bahkan genre horror sekalipun kayak The Conjuring dan Insidious pun, sekuelnya gak lebih bagus dari film pertamanya.

Penyebabnya? Banyak sebenernya. Tapi yang paling krusial adalah, sekuel tidak akan lebih baik dari film pertamanya kalo film pertamanya itu dibuat emang untuk tamat. Kayak udah problem solved gitu. Bahasa mudahnya mungkin, ya karena udah happy ending, jadi mau dilanjutin lagi tergantung yang bikin scenario, bakalan menarik gak nih? Apa emang lebih menarik kalo udahan ya gitu aja… beda kasusnya kalo film pertamanya punya ending yg gantung, atau emang sengaja mau dibuat lanjutannya, kan ada tuh yang begitu. Atau bisa juga, film-film yang emang adaptasi dari buku. Biasanya kalo buku kan berseri, nah umumnya kalo diangkat ke layar lebar, filmnya pun ngikutin berseri juga. Kecuali kalo adaptasi bebas, yaa itu bakalan lain lagi, buku yang ada 5 seri pun, bisa aja diangkat ke film yang cuma 1 judul.

Intinya, sekarang bukan lagi mau ngomongin soal sekuel-sekuel film atau kualitasnya gimana, tapi lebih ke pengen fokus ke satu judul film trilogi yang baru-baru ini gw selesein dan berkesan banget buat gw. Seperti yang dijelaskan di awal, judulnya BEFORE TRILOGY. Film Trilogi Before ini ada 3 seri, dan semuanya diawali dengan kata “BEFORE”: Before Sunrise (sebelum matahari terbit), Before Sunset (sebelum matahari tenggelam), dan (mungkin) diakhiri dengan Before Midnight (sebelum tengah malam). Kenapa gw bilang “mungkin diakhiri”, karena gak ada yang tau kalo tiba-tiba muncul sekuel keempat nanti haha (hopefully as good as those three).

Spoiler sebelumnya. Film ini agak unik guys, karena film ini bener-bener penuh sama dialog panjang yang kalo kalian bukan tipikal penikmat film dengan percakapan yang panjang dan penuh makna maka kalian bakalan cepet bosen, bahkan sejak scene awal waktu kedua tokoh menghabiskan waktu buat ngobrol-ngobrol ngablu panjang lebar di Restorasi kereta api tujuan Budapest (hungaria) ke Vienna (Austria). Apalagi obrolan mereka ini bukan yang small talk macem:

 “Hi, I’m Paul”

“Hi, I’m Meredith”,

“How Are You?”

“Good. How Are You?”



Bukan yang mainstream begitu.. Haha.

Dan dari sejak pertemuan awal kedua tokoh ini gw bener-bener ngerasa kagum krn dua-duanya ini super pinter… bukan yang kayak pinter intelektual gitu, tapi lebih ke wawasan dan topik obrolannya yang meluas, mulai dari ngobrolin soal ide-ide, kehidupan yang lagi mereka jalani, masa depan, keluarga dan lain-lain.. dan semua obrolan ringan tapi dalam itu dibungkus dengan berbagai filosofi yang bikin kita melongo sendiri dengernya. Mereka kayak bener-bener ngobrol, pake hati, pake jiwa, dan pake otak. Bukan sekadar cari bahan obrolan supaya bisa basa-basi karena mau kenalan doang. NO. THEY WEREN’T. Dan beberapa menit kemudian, tanpa kita sadari kita jadi ikut larut dalam obrolan panjang dan dalam mereka. Kita seolah kayak jadi tau latar belakang masing-masing karakter tanpa penulis harus menjelaskannya secara konkret si anu siapa dan si itu siapa. Brilliant.

Oke daripada makin ngablu, kita langsung ke inti ceritanya aja. Untuk mempersingkat waktu gw akan gabung semuanya dan nyeritain garis besarnya dari film awal sampe sekuel terakhir.

BEFORE SUNRISE

Cerita dimulai dari film pertama dari Trilogi Before, yaitu BEFORE SUNRISE (Sebelum Matahari Terbit). Have no idea tentang judulnya pas pertama kali nonton. Before sunrise ini berlatar belakang di tahun 1994 (meskipun film aslinya tayang tahun 1995), which is tahun-tahun di mana mereka pertama kali ketemu. Ada dua tokoh utama di film ini (dan tentunya di sekuel-sekuel selanjutnya), sepasang muda-mudi yang pada saat itu belum mengenal satu sama lain, dan bahkan berasal dari negara yang berbeda. Mereka adalah Jesse dan Celine. Jesse adalah pemuda Amerika yang hobi travelling dan bisa dibilang dia sedang dalam masa-masa Quarter-Life Crisis lah… (Love life, kerjaan, masa depan semua yang masih ngablu gak jelas), di sisi lain Celine kehidupannya agak lebih jelas dibandingkan Jesse (wkwk), Celine adalah mahasiswi asal Prancis yang baru pulang dari rumah neneknya di Budapest. Mereka sama-sama naik kereta api dari Budapest tapi tujuannya beda-beda (yakan asalnya juga beda yee), Jesse rencana turun di Vienna (Austria) buat ngejar penerbangan balik ke Texas (USA), sedangkan Celine naik kereta dari Budapest buat turun di Paris. Di kereta pun mereka duduknya jauhan sebenernya, Celine duduk beberapa baris di depan tempat duduk Jesse, tapi entah takdir mempertemukan haha, Celine yang duduk sebelahan sama pasutri asal Jerman yang lagi ribut (ya maklum ribut-ribut pasutri yang udah belasan tahun berumah tangga gitu), terlebih ributnya pake Bahasa Jerman yang Celine gak paham sama sekali, bosan sama pemandangan keributan turis jerman itu, akhirnya Celine mutusin buat pindah duduk ke bangku kosong yang posisinya agak di belakang, kebetulan lagi posisinya di sebelah bangkunya Jesse (ya ini formula-formula khas Rom-Com yang udah biasa banget sih haha, tapi ke sananya bakalan beda kok 😊).



Karena duduk sebelah-sebelahan (well, seberangan sih sebenernya cuma satu line), Jesse dan Celine yang sama-sama duduk sendiri akhirnya saling liat-liatan dan ngobrol. Pada saat itu, entah kenapa dua-duanya kompak banget lagi sama-sama baca buku. Sebenernya obrolan pertama mereka berawal dari merhatiin pasutri jerman yang lagi berantem itu, akhirnya Jesse dan Celine kayak gibahin mereka. Dari topik obrolan pertama yang mereka obrolin aja itu bener-bener deep, Celine kayak ngasih tau ke Jesse kalo pasangan itu semakin tua, mereka semakin kehilangan kemampuan mendengar. Kalo cewek biasanya kehilangan kemampuan mendengar suara rendah dan sebaliknya laki-laki akan kehilangan kemampuan mendengar suara tinggi, makanya banyak istri-istri yang udah belasan bahkan puluhan tahun nikah akan cenderung ngomel-ngomel pake nada tinggi ke suaminya dan semua itu baik-baik saja, krn suaminya pun mulai mengalami penurunan pendengaran, terlebih pas istrinya ngomel-ngomel haha. Kesan obrolan pertama mereka udah asik ceu… padahal itu sama sekali belom kenalan, mereka hanya dua orang asing yang kebetulan sama-sama di perjalanan kereta yang sama.

Merasa satu frekuensi (aseek), akhirnya Jesse memberanikan diri buat ngajak Celine ke gerbong restorasi, yaa itung-itung ngemil-ngemil sambil ngobrol, Celine menyambut baik ajakan Jesse. Di restorasi obrolan mereka entah kenapa semakin jauh dan jauh dan seru. Jesse dan Celine mulai tanya satu sama lain tetang ke mana tujuan mereka dan ada keperluan apa mengunjungi Jesse mulai menceritakan kalo dia berasal dari keluarga broken home (ayah dan ibunya sudah lama bercerai). Jesse punya mimpi-mimpi besar, salah satunya buat bikin sebuah acara reality show yang diisi dengan montage kegiatan rutinitas setiap orang selama 24 jam yang ditayangkan di kota-kota di seluruh dunia. Jesse juga cerita kalo sejak dia masih kecil, dia termasuk anak yang punya segudang ide dan imajinasi, tapi gak terlalu didukung sama orang tuanya.  

Sebaliknya, Celine pun cerita kalo dia lahir dari orang tua yang juga selalu punya pendapat yang berseberangan dengan passion dia. Setiap Celine memilih jalur/karir yang dia gemari, orang tuanya selalu memiliki opini yang berbeda. Ketika Celine mau jadi penulis, ayahnya akan bilang wartawan. Atau Ketika Celine mau jadi pekerja suaka hewan terlantar, ayahnya mau dia jadi dokter hewan. Ketika Celine mau jadi aktris, ayahnya akan bilang presenter televisi. Dia menyimpulkan bahwa perdebatan semacam ini konstan terjadi, dan pada akhirnya Celine lebih memilih mengikuti kata hati.


Waktu terus berlalu, tanpa terasa obrolan mereka di gerbong restorasi mengantarkan pada tujuan Jesse, stasiun di Vienna. Itu artinya mereka harus berpisah, karena Celine harus melanjutkan perjalanannya ke Paris. Tapi, lagi-lagi kalau begitu ceritanya, maka film akan selesai pada menit ke-15. Obrolan menarik yang dihabiskan bersama Celine membuat Jesse merasa ingin lebih lama menghabiskan waktu dengan Celine, terlepas dari detik itu di mana waktu memaksa mereka untuk berpisah, tapi Jesse seperti tidak kehilangan akal.

Nggak ada bedanya dari laki-laki pada umumnya, terlebih di usia yang masih sangat muda, di mana mereka baru menginjak fase dewasa muda (< 25 tahun), Jesse ambil tindakan lah, kayaknya gejolak kawula muda yang ada di dalam dirinya menolak untuk berpisah dengan Celine (atau seenggaknya dia harus cari cara untuk menunda perpisahan mereka sembari melihat apa yang akan terjadi selanjutnya). Alhasil sebelum Jesse turun kereta, dia ngasih tau semacam ide gila ke Celine, ya, perempuan yang baru banget beberapa menit lalu di kenalnya di kereta api, di perjalanan yang sama sekali gak mereka rencanain untuk bertemu dan menghabiskan waktu Bersama, bahkan perempuan yang namanya aja belum Jesse ketahui.

Jesse bilang ke Celine kalo dia merasa mereka punya frekuensi yang sama nih, sama-sama nyambung, obrolan yang dijalin juga asik dan ngebuat Jesse semangat. Akhirnya, singkat kata dengan berbagai modus gombal gombleh khas kaum Adam (wkwkwk, asli harus nonton biar tau modusnya kayak gimana, sok-sok jadi cenayang dia haha. Dan dari scene modus si Jesse itu kita penonton pasti bisa mengerti kenapa laki-laki tukang bohong dan perempuan cenderung mudah percaya/tertipu hahaha), Jesse nawarin Celine buat turun sama-sama di stasiun Vienna itu. Dengan opsi, kalo Celine turun sama Jesse, dan setelah itu ngerasa Jesse orang yang freak, Celine tinggal balik lagi ke stasiun dan melanjutkan perjalanan pulang ke Paris. Tapi kalo ternyata Celine nyaman menghabiskan waktu sama Jesse, mereka harus terus bersama-sama sampai besok pagi Jesse pergi ke airport buat terbang ke Texas.

Tapiiiii, lagi-lagi gw salut sama si Jesse ini. Semodus-modusnya dia pengen dapetin Celine ya (kasarnya), dia masih mencoba jujur dan apa adanya. Dia ngajak Celine turun bareng di Vienna tapi dia juga bilang ke Celine kalo dia gak punya cukup uang buat sewa penginapan/hotel, jadi garis besarnya Jesse cuma bisa ngajak Celine jalan-jalan berkeliling kota Vienna sampai besok pagi. Dan tanpa berpikir Panjang, karena mungkin Celine juga org yang suka berpetualang, dia mengiyakan tawaran Jesse dan akhirnya mereka menghabiskan waktu semalaman di Vienna.

Selama di Vienna mereka ngapain? Ya jalan-jalan, Cuma itu? Iya cuma jalan-jalan. Di sepanjang waktu mereka jalan-jalan mereka terus ngobrol, ngobrolin banyak hal seperti pas ngobrol di gerbong restorasi kereta sebelumnya. Karena gak punya duit, Jesse beneran Cuma ngajak Celine ngider-ngider kota Vienna, jalan kaki wkwk. Di Vienna, mereka sempet nyobain naik trem dan tetep ngobrolin soal hal-hal random yang penuh dengan filosofi wkwk, mereka juga mampir ke toko musik yang jual piringan hitam. Di sana Celine ngambil salah satu album piringan hitam milik salah satu penyanyi Amerika yang lucunya, si Jesse yang orang Amerika totok malah gak kenal penyanyi itu wkwk.


Satu adegan hangat dan romantis tersaji di toko piringan hitam, Celine memutar album milik penyanyi Amerika itu, dan alunan musik mengiringi kesunyian mereka, diam bener-bener tanpa kata. Mereka hanya menikmati musik yang diputar dan larut dalam emosi dua orang asing yang belum ada setengah hari saling kenal.

Setelah dari toko musik, Celine (yang juga traveller addict) mengajak Jesse ke pemakaman, iya agak absurd sih buat tempat ngedate wkwk, di situ lagi-lagi mereka terus ngobrol soal hal random, Celine bercerita dulu ibunya pernah ajak dia jalan-jalan ke makam ini, dan ada salah satu makam yang berkesan krn mendiang di makam itu anak usia 13 tahun. Dan pertama Celine menemukan makam itu tepat saat usia dia juga 13 tahun, dan sekarang Celine udah bertambah tua 10 tahun, sedangkan anak dalam makam itu tetap abadi di usia 13.

Selesai dari makam mereka lanjut menghabiskan petang di amusement park, yaa.. kalo di sini mungkin kayak dufan atau jungle gitu haha. Mereka naik bianglala dan finally! Shared a kiss di sana. Ngablu sih bener-bener ngablu. Kayak, well ada angin apa gitu sampe lo mau ciuman sama stranger? Weheheyy. Cuma gw yakin hal itu terjadi karena mereka sama-sama nyaman dan menemukan apa yang namanya chemistry. Jesse tau dia menemukan sisi lain dari seorang Wanita di dalam Celine, begitupun Celine, dia merasa Jesse itu remaja Amerika yang terjebak dalam tubuh pria dewasa. Di mana menurut dia itu cute, karena terlepas dari tampang Jesse yang brewokan dan macho banget, tapi dia masih punya sisi lembut dan polosnya anak kecil. Which is weeew.


Salah satu scene menarik juga diselipin sutradara di Before Sunrise, yaitu scene saat Jesse dan Celine berhenti sejenak buat nongkrong-nongkrong di depan salah satu café, dan tetiba ada ibu-ibu cenayang yang ngakunya bisa baca garis tangan. Dan di situ, Garis tangan Celine dan Jesse dibaca si cenayang, ya tentu aja si cenayang minta bayaran abis itu.. wkwk. Si cenayang menjelaskan kalo Celine itu orang yang berjiwa petualang, dalam masa pencarian dan punya kekuatan dalam dirinya (semacam girl power gitu), jadi dia kayak gak bisa mengikuti kehendak orang lain.

Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan ngablu ke gereja tua di Vienna, ke bar main pinball, dan akhirnya mereka menghabiskan sisa malam di taman (bisa dibilang mereka tidur di taman sampe pagi wkwk dengan modal anggur merah yang Jesse “rampok” dari pemilik bar. Di taman mereka akhirnya mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain, kalo ternyata Jesse dan Celine sama-sama menyimpan perasaan yang tidak bisa dijelaskan antara satu sama lain.


Jesse sebagai cowok jelas lebih chill, malam itu dia merasa benar-benar jatuh cinta sama Celine dan sepertinya gak mau berpisah, sebaliknya Celine yang lebih sensitif dan rasional, dia merasa menjalin hubungan dengan Jesse hanya akan memperburuk keadaan, krn Celine tau mereka akan berpisah jarak. Celine dengan kehidupannya, begitupun Jesse. Celine kayak gak mau kalo malem itu mereka terlibat asmara, mereka akan susah move on Ketika sudah berpisah.

Film berakhir saat pagi setelah matahari terbit, Ketika Jesse mengantar Celine Kembali ke stasiun untuk melanjutkan perjalanannya ke Paris. Sempet ada drama juga waktu adegan mau pamit-pamitan itu wkwk. Jesse yang lagi-lagi kayak ikhlas gak ikhlas negelepas Celine pergi, menawarkan untuk bertemu lagi di stasiun yang sama. Scene ini juga agak lucu, krn awalnya Celine ngajakin ketemuan 5 tahun lagi, tapi kata Jesse itu kelamaan (yaiyalah keburu jadi istri orang si Celine wkwk), akhirnya Celine ngurangin lagi jadi 1 tahun, itu juga masih kelamaan kata Jesse (yah dasar ini org aja yg ngebetan yak wkwk), finally Jesse nawar lagi jadi 6 bulan dan Celine sepakat. Mereka sepakat ketemuan di stasiun tempat mereka berpisah 6 bulan dari sejak itu, which is tanggal 16 Juni 1995. Setelah itu, Celine naik kereta dan melanjutkan perjalanan ke Paris dengan Jesse masih memandangi kereta Celine yang perlahan bergerak meninggalkan peron. Jesse pun langsung cuss ke bandara pake bus untuk ngejar penerbangan pulang ke Amerika.


THE END.

******

BEFORE SUNSET

Perjalanan asmara Jesse dan Celine berlanjut 9 tahun kemudian di BEFORE SUNSET (Sebelum Matahari Tenggelam). Masih dengan sutradara yang sama dan pemain yang sama (finally!) karena pasti susah banget buat bikin sekuel film yang udah segitu lamanya dan masih pake cast yang sama. Sebagai perbandingan, Get Married, Ayat-Ayat Cinta, serta Surga yang Tak Dirindukan adalah sekian dari banyak contoh judul film yang sekuelnya ganti pemeran book. Entah kenapa selain ceritanya belom tentu oke, pergantian pemain ini sedikit banyak ngebuat penggemar film itu jadi kurang mood buat liat filmnya krn pasti tokoh yang diperankan udah melekat banget sama cast sebelumnya.

Anyway.. Before Sunset ngambil tempat di Paris. Kalo sebelumnya, Before Sunrise menjadi pertemuan pertama Jesse dan Celine di Vienna, sekuel keduanya mereka bertemu Kembali di Paris. Yes Paris, kampungnya Celine. Terus ngapain Jesse ada di Paris? Apa Jesse sengaja nyusulin Celine ke Paris?

Jawabannya, Jesse ke Paris bukan untuk nyusulin Celine, bukan juga sengaja untuk menemui Celine. Jesse ke Paris karena memenuhi agenda tur promo novelnya di Paris. Ya! Jesse penulis sekarang! Hihihi

Scene pertama dibuka Ketika Jesse dan publishernya lagi sibuk menjawab pertanyaan jurnalis/media soal novelnya (or novel terbarunya, entahlah gak dijelasin itu yang baru terbit novel ke berapa) di salah satu bookstore di Paris. Novel itu cukup berkesan dan mencuri perhatian khalayak karena menurut Jesse novel itu diangkat dari kisah nyata yang terjadi di hidupnya. Singkat kata, Jesse menulis novel berjudul This Time yang terinspirasi dari pertemuannya dengan Celine di Vienna 9 tahun lalu. Di sela-sela si Jesse lagi ngejawabin pertanyaan jurnalis soal novelnya, di sudut pintu bookstrore Jesse melihat sosok perempuan berambut pirang yang tersenyum ke arahnya. Perempuan itu tak lain adalah Celine dooooong. Ih gemaaay hahaha


Pertemuan itu Kembali dihinggapi masalah karena Jesse harus balik ke airport satu jam setelah promosi bukunya di Paris selesai (kurang lebih sekitar 8 jam lagi). Sementara pertemuannya Kembali dengan Celine tentu gak mau disia-siain sama Jesse. Alhasil Jesse tanya ke publishernya apa dia bisa balik ke bandara agak lebih lama, krn ada urusan yang harus diselesaikan (padahal urusannya ya ketemu si Celine wkwk). Publishernya bilang Jesse paling lambat harus ke bandara jam 7.30 malem, dan akhirnya Jesse bilang ke Publishernya kalo mau keliling-keliling Paris sebentar, dan Publishernya oke tuh, katanya sip nanti biar kalo Jesse mepet balik ke bookstore biar drivernya aja yang jemput si Jesse. Nomor kontak drivernya pun dicatet Jesse.

Tanpa buang waktu Jesse dan Celine akhirnya bertemu, memutuskan untuk Kembali berjalan-jalan berkeliling kota seperti yang dulu mereka lakukan Ketika pertama bertemu di Vienna. Bedanya, kali ini jalan-jalannya lebih terarah krn ada tour guidenya, si Celine. Wkwk. Kecanggungan tidak bisa ditutupi keduanya saat bertemu Kembali untuk pertama kalinya. Bahkan jauh lebih canggung dibandingkan saat pertemuan mereka di kereta Budapest. Kita pun penonton bisa merasakan kecanggungan yang ada. Yaiyalah 9 tahun aja gak ketemu tanpa kontak-kontakan, gimana gak awkward weeey. Haha

Mungkin pertanyaan yang terbersit oleh kita adalah, kenapa kedua orang itu bisa ketemu lagi di Paris? Ya tau sih mungkin kebetulan karena mereka satu kota, tapi kebetulan semacam apa yang mempertemukan orang yang udah 9 tahun gak ketemu tanpa kabar tiba-tiba saling bertukar pandangan di dalam bookstore. Dan ada berapa tempat toko buku juga di Paris sampe Celine harus ada di toko buku itu di saat Jesse juga lagi promo novel di toko yang sama? Weird yes. Tapi gak sampe 10 menit sutradara sudah memberikan jawabannya.

Ini semua bukan kebetulan semata. Karena Celine sengaja ke toko buku itu siang itu karena dia tau Jesse akan ada di situ menghadiri promo novelnya. Kok Celine bisa tau? Apa Celine bucin? Haha jadi cocokologi begini… wkwk. Jadi Celine bilang kalo dia liat gambar (mungkin iklan kali maksudnya ya) di kalender kalo Jesse bakalan dateng ke toko buku itu untuk mempromosikan novelnya. Dan lucunya lagi, Celine ternyata pernah baca salah satu artikel (media) tetang novelnya Jesse itu, dan somewhat Celine merasa familiar dengan cerita di novelnya itu (yaiyalah itu kan emang tentang mereka yak haha..) Setelah itu Celine akhirnya beli novelnya Jesse dan bahkan sampe 2x hatam.

Siang itu, Celine mengajak Jesse untuk ngopi2 kece di salah satu café di sudut kota Paris. Katanya café itu sering Celine datangi, bukan cafe yang fancy tapi kopinya enak katanya. Sebagai turis, ya si Jesse hayuk aja ya… terlebih udah lama gak ketemu Celine. Di sepanjang perjalanan ke café (jalan kaki btw as usual) Celine memecah kecanggungan dengan bertanya soal rencana pertemuan mereka di stasiun Vienna 9 tahun lalu. Celine nanya, apa Jesse beneran dateng 6 bulan setelah itu? Bukannya langsung jawab Jesse malah nanya balik ke Celine, untungnya Celine gak balik nanya lagi, yang ada gak kelar-kelar itu gak ada jawbaan wkwk. Intinya, Celine bilang kalo waktu itu Celine gak nepatin janjinya buat ketemuan lagi di Vienna karena pas banget tanggal 16 Juni 1995 itu neneknya yang di Budapest meninggal. Merasa gak enak, Celine nanya lagi ke Jesse apa dia dateng ke Vienna tanggal 16? Jesse menjawab engga, padahal dia dateng hahaha.

Sepanjang perjalanan mereka terus ngobrolin soal novel Jesse, dan gimana nasib dia waktu dateng ke Vienna dan si Celine gak dateng, di percakapan yang masih sama serunya Ketika pertama kali mereka bertemu, Celine cerita kalo sekarang dia kerja jadi aktivis peduli lingkungan hidup/environmentalist gitu, dan gak lama setelah itu mereka langsung hangat membicarakan soal topik lingkungan, seru deh ngeliat gimana Jesse dan Celine terus asyik ngobrol walopun di beberapa sisi mereka kerap punya pendapat yang beda. Kecanggungan pun kian mencair bergati dengan situasi di mana kayak masing-masing mereka ketemu temen lama aja.


Selanjutnya, seperti pola yang dipakai di film sebelumnya, obrolan mereka di café kian intens, Celine mulai nanyain akan berapa lama Jesse berada di Paris, dan konyolnya. Mereka tuh dua teman asing yang kayak bener-bener ditakdirin tapi belum bisa Bersatu. Ternyata setelah nyelesain kuliah di Prancis, Celine merantau ke New York buat ambil studi lagi di NYU. Di saat yang sama, Jesse juga ternyata udah pindah dari kampungnya di Texas ke New York. Jadi bisa dibilang sebenernya mereka ada di region yang sama di periode itu. Sayangnya masing-masing gak tau kalo sama-sama satu kota krn terakhir mereka pisah di Vienna gak saling tukeran kontak, njiiirrr goosebumps.

Setelah ngopi-ngopi kece sebentar, mereka melanjutkan perjalanan. Jesse yang lagi-lagi jadi turis di negeri orang, minta Celine buat ngajak dia keliling-keliling Paris sebelum bertolak lagi ke Amerika. Celine mengiyakan. Mereka menelusuri seluruh jalanan kota Paris, pergi ke taman, dsbg. Dari obrolan yang terus terjalin akhirnya penonton diberi pencerahan tentang apa yang terjadi di taman di Vienna malam itu sebelum akhirnya pada pagi hari Jesse pulang ke Texas di film pertama. Jesse mengklaim kalo malam itu mereka berbuat sesuatu di taman, tapi Celine dengan tegas membantah, katanya waktu itu Jesse gak bawa comdoms, makanya gak mungkin terjadi hal yang aneh-aneh di taman itu, tapi Jesse terus bersikeras teguh pada pendirian kalo mereka emang melakukan sesuatu. Nah loh entah deh ini yang mana yg pikun. Wkwkwk

Pembicaraan sepanjang di taman terus ngablu seperti biasanya, Jesse dan Celine 9 tahun kemudian seperti tidak ada bedanya dengan saat mereka pertama kali ketemu sebagai muda-mudi 23 tahun di kereta di Budapest. Obrolan mulai intens Ketika Celine berceloteh bagaimana kalo hari itu hari terakhir mereka hidup? Dan mereka akan mati keesokannya. Such a random thoughts.. hahaha. Jesse dengan lantangnya bilang, kalo hal itu terjadi maka hari itu juga Jesse akan menghabiskan waktunya Bersama Celine di kamar hotel, mengadu asmara secara liar sampe akhirnya mereka beneran mati. Hahaha SO RANDOM BUT FUNNY! That’s why I love this couple 😊

Celine dan Jesse terus ngobrol ngablu sampe akhirnya Celine buka suara soal hobi dia nyanyi dan nulis lagu. Dan Jesse tampak tertarik sama bakat seni Celine yang pandai menulis lagu. Alih-alih Panjang lebar ngobrolin soal lagu, Celine buru-buru ngajak Jesse buat balik ke bookstore karena takut Jesse ketinggalan pesawat. Gak sampai di situ, Before Sunset terus memberikan kejutan demi kejutan setalah 9 tahun berlalu. Jesse ternyata sudah menikah dooong dan bahkan udah punya satu anak balita namanya Henry (panggilannya Hank). Jesse dan keluarga kecilnya tinggal di Chicago. Istrinya seorang guru SD, dan ya mereka menjalani kehidupan rumah tangga sebagaimana masyarakat Amerika pada umumnya. Sementara Celine? Jomblo? Ngga dooong haha, Celine pun udah punya pacar weey, pacarnya seorang fotografer jurnalis yang sering meliput kejadian-kejadian penting, kayak perang dsbg. Wow.


Again. Obrolan tetep seru meskipun mereka saling tau masing-masing udah punya kehidupan asmara sendiri-sendiri. Jesse dengan keluarganya dan Celine dengan pacarnya. Tapi di antara mereka kayak gak ada butthurt atau saling kecewa… sampai detik itu ya, haha. Jesse yang Kembali ke kebiasaan lamanya (mau lama-lama ngabisin waktu bareng Celine), mutusin buat ngajak Celine naik Perahu. Tau kan kota-kota di Eropa, salah satunya Paris terkenal sama transportasi air yang bagus. Alih-alih jalan kaki ke bookstore, Jesse ngajak Celine buat berlayar naik perahu (tau deh mungkin si Jesse ngerasa udah mulai tua, jd capek jalan kaki kali ya haha). Celine yang awalnya ragu karena again, takut Jesse terlambat sampai bookstore dan rada mager juga boook dia naik perahu2 begitu, secara yang naik perahu itu rata-rata turis, sementara dia kan warga asli Paris (yaaah mungkin kalo ibarat di Jakarta kayak naik wara-wiri di TMII atau monas kali yaa.. kayak gila mager banget org Indo naik gituan), tapi pada akhirnya Celine kalah juga, dia akhirnya menyanggupi permintaan Jesse buat naik perahu.. (Ya mungkin dipikirnya sebagai tuan rumah yang baik harus menyambut tamu dgn baik, haha)

Jalan-jalan ngablu lagi naik perahu sedikit menghapus kekhawatiran Jesse krn dia tau dia dibekali nomor drivernya tadi pagi, jadi tinggal kontak aja mau dijemput di mana… Yaelah enak banget ya jadi penulis terkenal, apa-apa akomodasinya lancer kayak jalan tol wkwkwk. Di perahu mereka ngobrol apa? Banyak. Mostly sih Jesse ngobrolin tetang ketidakpuasan dia sama kehidupannya sekarang… aww… so sad… Jesse merasa rumah tangganya tidak berjalan sebagaimana yang dia impikan. Celine tadinya berpikir apa yang Jesse rasakan mungkin akibat rasa jenuh karena sekarang dia punya anak kecil, jadi perhatian istrinya terbagi untuk anaknya juga. Tapi Jesse menyangkal bukan itu penyebabnya.


Turun dari perahu, Jesse dan Celine disambut oleh driver yang sudah siap mengantarkan Jesse ke airport, tapi coba tebak.. lagi-lagi Jesse mau menunda perpisahannya dengan Celine (lagu lama yeee) haha. Jesse menawarkan untuk mengantarkan Celine pulang ke rumahnya Bersama drivernya. Karena merasa tidak harus banyak perdebatan lagi, Celine mengiyakan, meskipun dia tetap khawatir akan penerbangan Jesse yang anjirr udah mepet. Ibarat kata, dua jam lagi boarding!! Aakk

Di mobil perjalanan ke rumah Celine, mereka terus ngobrolin, tapi kali ini seperti puncakya. Kalo di film sebelumnya puncak obrolan mereka ada di taman Vienna pada malam hari sebelum matahari terbit, di film ini terjadi sore hari sebelum matahari terbenam di dalam mobil sepanjang jalan menuju rumah Celine. Jesse dan Celine kayak saling ngungkapin kekesalan dan unek-unek mereka dalam hidup. Celine yang hampir mewek karena love lifenya selalu berakhir buruk karena semua cowok yang dipacarinnya berakhir mutusin hubungan dan nikah sama cewek lain. Celine yang udah cantik begitu aja masih ngerasa insekyur karena ngerasa dia pribadi yang buruk banget sampe cowok-cowok gak ada yang ngajakin dia nikah. Njiiirrrr.

Begitupun Jesse, gak mau kalah dari cerita sedih Celine, Jesse bilang kalo hidup dia jauh lebih buruk dan depressing dari yang Celine alami. Jesse sebagai pria beristri merasa kehidupan rumah tangganya berantakan, bahkan mereka (Jesse dan istrinya) beberapa kali pergi ke konseling perkawinan demi menyelesaikan problematika rumah tangga mereka. Tapi semua saran yang diberikan konselor gak ada yang berhasil menurut Jesse. Terlebih Ketika Jesse menatap anak semata wayangnya, dia semakin merasa tersiksa karena gak bisa ngasih potret keluarga sempurna di hadapan anaknya. Iya sih… gila itu bener2 depressing. Dah lah intinya dua sejoli ini sama-sama depressed.

Di mobil, finally a confession was made. Jesse mencoba jujur sama Celine kalo dia gak bisa ngelupain Celine terakhir mereka pisah di Vienna. Jesse terus membayangkan Celine yang bersamanya, bahkan Ketika hari pernikahannya, Jesse membayangkan yang jalan di altar itu Celine bukan istrinya, wkwk ah ini sih anjay banget sebenernya (kalo gw jadi istrinya: ngapain lo ngawinin gw gajaaah). Bahkan Ketika istrinya hamil pun, Jesse masih terus ngebayangin yang hamil itu Celine. Ah gila sih ini udah obsessed sejak perpisahan di Vienna kayaknya.


Acara saling curcol ini malah akhirnya membuat mereka masing-masing tersenyum dan bahkan tertawa karena begitu miserable nya kehidupan mereka ternyata. Mobil sampai di depan apartemen Celine (apartemennya lebih mirip rusun sih, karena bukan bangunan apartemen yang modern gitu.. tapi lebih ke apartemen kuno di pinggiran kota yang gak bagus-bagus amat). Celine turun, Jesse ikutan turun. Guess what? Jesse lagi-lagi nawarin buat nganterin Celine ke dalam apartemennya (yah modus apaan lagi ini ya si Jesse haha). Gak jadi berpisah Jesse akhirnya minta buat mampir sebentar di apartemen Celine buat dengerin salah satu lagu ciptaannya. Inget kaaan tadi Celine bilang kalo dia hobi nulis lagu? Nah ini kayaknya si Jesse kesempatan ada alas an sok-sokan mau dengerin lagu buatan Celine biar (again) bisa lama-lama ngabisin waktu bareng.

Singkat cerita, di dalam apartemen Celine mainin salah satu lagu ciptaannya, seperti yang Celine ungkapkan lagu itu tanpa judul hanya berirama waltz. Celine menyanyikan lagunya dengan gitar. Tapi dari liriknya (again) kita bisa menyimpulkan kalo lagu itu tentang Jesse. Duh ini mereka fate banget. Yang satu mengungkapkannya dengan novel, satunya lewat lagu. Dahlah ambyaar.

Celine yang punya koleksi album music super banyak di apartemennya, out of nowhere ngebuat Jesse tertarik dan mengambil salah satu CD miliknya dan muterin di tape di ruang tamu Celine. Album itu milik salah satu penyanyi Amerika bernama Nina Simon. Celine yang punya pengalaman dateng ke konser Nina Simon, menceritakan gimana serunya menyaksikan pertunjukan musik Nina. Dengan sedikit gestur Celine memparodikan gimana Nina menyapa audiensnya saat konser. Tanpa disadari gestur Celine sangat menghibur Jesse, yang beberapa menit lalu gundah dengan segala problematika hidupnya. Mereka pun larut dalam alunan musik Nina Simon. Sampai akhirnya  Celine berkata ke Jesse dengan menirukan gaya bicara Nina Simon yang slightly seducing, dia berkata “Sayang, kamu akan ketinggalan pesawat itu”, tanpa berpikir Panjang, Jesse menjawab “Aku tahu” diiringi tawa renyahnya memandang gestur lucu Celine.


THE END.

******

BEFORE MIDNIGHT

Trilogi Before ditutup manis dengan film ketiga sekaligus terakhirnya, BEFORE MIDNIGHT (Sebelum Tengah Malam). 18 tahun berlalu sejak Jesse dan Celine pertama kali bertemu, dan 9 tahun sejak mereka sama-sama reunian kecil di Paris. Ada yang berubah? Tentu iya. Jesse dan Celine menua, yaiyalah udah pasti itu mah. Pokoknya di film ketiga kalian akan liat sosok Jesse dan Celine yang udah mulai banyak kerut-kerut di muka, Celine juga udah gak selangsing dulu… walopun bukan yang gendut gimana juga, tapi ya keliatanlah bodi emak-emaknya. Wkwk. Gimana dengan Jesse? Masih nulis, masih hobi travelling, Cuma kali ini engga ngablu sendiri tapi sama keluarganya, eaaaa.


Film dibuka dengan adegan Jesse yang mengantar anaknya Henry atau biasa dipanggil Hank ke airport untuk pulang ke Chicago. Jadi ceritanya, Jesse dan istrinya yang guru SD itu udah resmi bercerai dan Hank baru saja menghabiskan liburan musim panas sama Jesse di Yunani. Sambil mengantar anaknya menuju gate boarding, Jesse terus menjalin percakapan panjang dan konstan khas Trilogi Before dengan Hank. Dari situ, kita penonton bisa menyimpulkan kalo hubungan Jesse dan anaknya gak deket-deket banget. Ya, deket sih, tapi Jesse selalu merasa ada ruang hampa di antara dia dan Hank. Hank yang saat ini udah beranjak remaja berusia 15 tahun (dah abg yeee), dalam waktu dekat akan mengikuti turnamen sepakbola di sekolahnya, tapi lagi-lagi usaha Jesse untuk menjalin kedekatan dengan janji mau menghadiri turnamen sepakbola Hank, ditolak Hank dengan halus. Hank merasa, hubungan Jesse dan ibunya yang kurang baik akan menambah beban pikiran Hank Ketika berkompetisi. Kayaknya si Hank ini gak mau kalo nanti harinya jadi ruined kalo bapak ibunya dateng tapi ya kondisinya gak akur. Ya malesin gitu kan liatnya bikin gak semangat. Walopun Jesse lagi-lagi bersikeras meyakinkan Hank kalo segalanya akan baik-baik saja, Hank tetap menolak tawaran Jesse untuk ditemani pada saat turnamen. Mbuh lah sakerepmu son, mungkin begitu pikir Jesse. Setelah memastikan dari kejauhan bahwa anaknya melewati gate boarding, Jesse menghela napas.. Kek berat bangeet gitu hidupnya haha. Jesse berjalan keluar airport untuk Kembali ke mobil. Di sana udah menunggu Wanita yang gak asing lagi buat kita penonton. Dialah Celine. Saat ini, Celine sudah resmi menikah dengan Jesse (akhirnyaaa yeee), haha. Celine yang sambil telponan (entah sama siapa) menunggu Jesse di luar mobil. Melihat Jesse keluar airport, mereka Bersama-sama masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan, di kursi belakang kalian akan menemukan pemandangan yang peacefulll banget, karena surprisingly, sekarang Jesse dan Celine udah dikarunai sepasang anak kembar yang cantik-cantik berusia 8 tahun bernama Ella dan Nina. Rambut panjang dan pirang, membuat kita melihat diri Celine dalam tubuh si kembar.


Sejak scene awal kita sudah diberi gambaran bahwa mereka sedang dalam masa liburan musim panas. Keluarga Jesse dan Celine beserta Hank anak Jesse dari mantan istrinya berlibur ke Yunani, dan menginap di salah satu rumah dari kerabat mereka, Pattrick salah satu penulis senior yang juga teman Jesse. Perjalanan dari airport ke penginapan mereka ditempuh cukup Panjang, mungkin kayak dari rumah gw ke Soetta kali ya, haha. Sepanjang perjalanan, Jesse dan Celine Kembali pada rutinitas lama mereka. Ngobrol. Tapi lagi-lagi film ketiga ini bener-bener berkembang, atau bisa dikatakan sejak Before Sunset pun udah berkembang. Topik pembicaraan mereka gak lagi ngablu atau setidaknya gak sengablu di film pertama dan kedua. Obrolan mereka saat ini bener-bener obrolan yang pasutri banget. Ngomongin soal kerjaan, domestic chores, anak-anak, pokoknya yang bener-bener keseharian mereka banget sebagai sebuah keluarga. Sedikit sekali kita temukan obrolan yang filosofis dan penuh makna layaknya Jesse dan Celine muda yang walking around Vienna di scene-scene awal.

Bedanya, entah kenapa walopun topik obrolannya berubah jadi agak low quality karena ngomongin soal rumah tangga mereka dan terkesan less interesting bagi Sebagian orang (terutama penonton yang udah kepalang tersihir sama gairah Jesse dan Celine muda yang obrolannya bisa panjang lebar soal filosofi seluk beluk kehidupan), tapi kita masih bisa melihat sisi menarik dari obrolan yang mungkin terkesan membosankan itu. Kayak Celine yang bahas soal Jesse yang males bersih-bersih, ngomongin soal Hank yang mulai puber dan tertarik sama lawan jenis, soal liburan mereka dan soal betapa payahnya mereka sebagai orang tua. Semua obrolan ringan seputar rumah tangga itu kayak ada dinamisasinya, kadang tense, tapi dibumbui dengan tawa juga. Gemes deh liatnya. Bisa dilihat perubahan mereka seiring bertambahnya usia. Dan role mereka sebagai pasutri juga ngaruh ternyata pada perubahan di diri mereka, juga Ketika kita sebagai penonton memandang Jesse dan Celine saat ini.


Kalo sebelumnya (di film pertama dan kedua), Jesse cenderung jadi role yang dominan (baik di percakapan mereka berdua, atau Ketika mereka hanya sekadar menghabiskan waktu Bersama), Jesse selalu jadi pencetus dan Celine jadi sosok yang mengimbangi. Setiap Jesse membuka pembicaraan atau memberikan umpan, di sisi lain Celine selalu jadi penyeimbang. Celine kayak wadah penampung air, sementara Jesse tekonya. Hampir di setiap scene mereka di dua film pertama, Jesse terlihat lebih dominan, memulai topik pembicaraan, membuka cakrawala, memancing Celine untuk mengeluarkan isi kepalanya. Sebaliknya, di film ketiga, roda seperti berputar. Jesse gak lagi jadi sosok laki-laki yang penuh dengan gagasan dan ide-ide untuk diungkapkan. Jesse di sini lebih laid back, lebih chill/santai, terlihat sosok bapak-bapak middle-aged beranak 3 yang emang udah tinggal nikmatin sisa-sisa hidup dari menulis. Dari segi fashion pun kita bisa liat, Celine yang walopun udah ibu-ibu tapi masih tetep keliatan kece pake dress sleveeless, dan di sisi lain, Jesse udah makin cuek tampangnya haha. Kita gak lagi liat sosok Jesse sebagai cowok kece yang seksi pake jaket kulit seperti di film pertama, atau terlihat maskulin dibalut setelan jas seperti Jesse di film kedua. Jesse saat ini hanyalah Jesse yang cuek dengan kaos slimfitnya, atau kemejanya yang bahkan gak jelas krn setengah sisinya dimasukin ke dalam celana, setengahnya lagi dibiarkan keluar. Jesse yang rambutnya terlihat agak gondrong dan berminyak haha. Pokoknya keliatan banget bapak-bapaknya, walopun dari segi ukuran badan Jesse gak nambah gemuk, nambah kurus iya kayaknya haha. Pikiran kali ya anaknya udah 3 booook.

Anyway, di paruh-paruh awal sampe pertengahan film ketiga gw sempet merasa ada penurunan intensity di percakapan khas Trilogi Before. Ada banyak faktor, salah satunya mungkin karena semakin banyak cast yang terlibat. Walopun mereka hanya supporting, tapi entah mengapa kayak lebih seru liat percakapan intimate antara Jesse dan Celine, ya cuma mereka berdua. Dibandingkan harus mendengarkan obrolan keroyokan dengan kerabat-kerabat mereka di Yunani. Tapi, kehadiran supporting cast ini sebenernya patut diacungi jempol juga sih, karena dari obrolan rame-rame di meja makan itu, memancing Jesse dan Celine untuk mendiskusikan lebih jauh tentang korelasi antara buku yang ditulis Jesse dengan kehidupan nyata mereka. Salah satu scene di mana mereka melakukan perbincangan di meja makan dengan Pattrick dan keluarganya cukup intens tapi hangat, saling berdiskusi bagaimana pertama kali Jesse dan Celine saling bertemu (btw di film ini ceritanya Jesse udah nulis 2 novel, pertama yang judulnya This Time terinspirasi dari pengalamannya pertama kali bertemu Celine di Vienna, dan lanjutannya berjudul That Time, yang menceritakan bagaimana mereka bertemu Kembali di Paris.          

Obrolan di meja makan dengan keluarga besar Pattrick seperti semakin menunjukkan dominasi Celine dalam rumah tangga mereka, seperti yang gw bilang sebelumnya kalo Jesse yang sekarang bukan lagi Jesse yang full of ideas, pencetus ide, pujangga dan sebagainya, roda berputar. Saat ini Celine yang lebih banyak ngomong (ya walopun Celine muda juga dulu cuwawaan sih..), tapi auranya beda aja gitu, Celine yang sekarang udah berubah jadi ibu rumah tangga yang ceriwis, yang suka becandain suaminya di depan teman-temannya, haha sounds so real!




Untungnya scene Jesse dan Celine yang berinteraksi sama Pattrick sekeluarga gak bertahan lama, menit ke-46 sutradara udah mulai back on the track sebagaimana pola Trilogi Before yang original, obrolan dua arah antara Jesse dan Celine, ya cuma fokus ke dua tokoh utama itu. Jesse dan Celine yang cuma punya waktu tersisa beberapa hari di Yunani memutuskan buat spend the night di hotel room, belakangan kita tau kalo “voucher nginep semalem” itu hadiah dari Pattrick dan keluarganya buat Jesse dan Celine, wkwkwk biar tetep romatis kali gitu yee maksudnya. Sementara Ella dan Nina, anak-anak mereka tetep stay di rumah Pattrick.

Again. Bisa ketebak banget mereka jalan ke hotelnya pake apa? Jalan kaki dong… asli ini kayaknya 20 tahun lagi, Jesse dan Celine bakalan jadi pasangan lansia paling sehat seantero Paris wkwk. Dan percakapan mereka sepanjang jalan ke hotel itu masih super seru, sama serunya kayak obrolan mereka waktu menyusuri jalan di Vienna 18 tahun lalu, dan pas keliling kota Paris 9 tahun lalu. Padahal, kondisinya saat ini mereka udah menikah, dan yang udah-udah, problematika orang yg udah nikah itu ya kehilangan sense of humor, gak bisa lagi menikmati masa-masa ngobrol kayak waktu masih pendekatan atau pas masih pacaran, semuanya kayak udah gak fun lagi. Tapi kita gak menemukan itu di Jesse dan Celine, mereka masih dua orang yang sama.

Sambil menyusuri bukit-bukit tua di Yunani, Jesse dan Celine saling bertukar cerita, mostly tentang apa saja yang pernah mereka lalui. Celine menyinggung soal surat yang pernah Jesse tulis 20 tahun lalu untuk dirinya sendiri yang berusia 40 tahun, Jesse pun masih ingat samar-samar apa yang dia tulis, dan nyaris sulit percaya kalo sekarang dia beneran udah 41 tahun. Tak jarang Celine menyelipkan jokes di sela-sela obrolan seru mereka, Celine mengutarakan kalo Jesse adalah pria tertua yang pernah dia tiduri sepanjang hidupnya hahaha. Dan Jesse pun mengumbar tawa Bahagia.

Celine pada akhirnya memberikan pertanyaan penuh makna pada Jesse, dia bilang kalo aja mereka pertama kali bertemunya sekarang, di usia yang saat ini udah sama-sama menginjak 40 tahun, apa Jesse masih memandang Celine menarik dan mau mengajak Celine turun dari kereta? Jesse pun dengan cepat menanggapi, “apa itu tidak berselingkuh namanya?” (ya maksudnya sekarang kan Jesse di kehidupan nyata udah nikah dan punya anak gitu..). Lucunya, mendengar jawaban Jesse yang kayak gak pake mikir, wkwk, Celine malah ngambek, katanya “Lo tuh kenapa gak bisa romatis? Tinggal bilang iya aja” hahaha. That’s funny though. Tapi at the end, Jesse tetep ngasih jawaban yang memuaskan buat Celine, meski agak geli dengernya krn semakin tua dia semakin pervert hahaha.

Jesse juga bercerita kalau beberapa saat lalu dia baru mendapat kabar kalo kakeknya yang udah menikah selama 74 tahun meninggal dunia. Celine kayak agak kaget dengernya, mungkin kagetnya dobel, kaget sedih sama kaget sama rentang waktu lamanya pernikahan kakeknya Jesse, langgeng banget. Dari obrolan kematian kakek Jesse itupun, Celine Kembali berucap, membayangkan gimana kalo mereka beneran bisa sama-sama selama rentang waktu pernikahan kakek-neneknya Jesse. Dan Jesse pun memberikan tanggapan kalo dia selalu membayangkan untuk menikmati masa tua Bersama Celine sampai mereka dipisahkan oleh maut, aww….. elah diabetes deh udah. Pokoknya obrolan mereka asli seru banget, sekali dua kali mereka bertukar canda dan akhirnya tertawa bersama menyaksikan kekonyolan satu sama lain.


Sebelum sampe ke Hotel, mereka sempet mampir ke salah satu chapel (gereja kecil) tua di antara bangunan tua kota Peloponnese, di selatan Yunani. Sebagai Nasrani yang taat, Jesse tentu punya banyak pengetahuan soal bangunan-bangunan gereja tua, mungkin ini sedikit mengingatkan kita waktu Jesse membawa Celine ke salah satu gereja tua di Vienna 18 tahun lalu, cara Jesse bertutur menceritakan soal sejarah gereja masih sama magnetiknya, menghipnotis kita yang nonton seakan Jesse bener-bener seorang arkeolog/ahli sejarah, haha. Sebaliknya, Celine yang awalnya cenderung atheis, atau gak tau sih kalo sekarang dia beneran udah punya agama atau belum, gak bisa berhenti mengutarakan jokes2 witty bahkan di dalam Chapel sekalipun, wkwk. Emang pasangan sableng.

Merasa sudah dekat dengan hotel, mereka memutuskan untuk mampir sebentar di tepi pantai buat sama-sama ngeliat sunset (belakangan pas ending akhir penonton akan tau kalo posisi hotelnya emang deket pantai), sumpah scene ini tuh bikin kicep, gw yakin penonton yang liat film ini di bioskop pasti seisi ruangan diem dan hening pas nyaksiin Jesse dan Celine menanti matahari terbenam. Gak banyak kalimat dan dialog seperti sebelumnya, scene sunset ini Cuma diisi dengan suara Celine yang menantikan detik demi detik matahari terbenam, “Still there… still there… still there.., gone.” kurang lebih begitu dialognya. Dan Jesse? Cuma tersenyum memandang betapa indahnya langit sore itu seindah perempuan paruh baya yang duduk di sampingnya. Anget banget deh pokoknya ini scene.


Sesampainya di hotel, akan banyak kejutan. Entah gw mau nyeritain kejutan ini atau membiarkan segalanya menjadi rahasia buat yang nonton. Tapi well, mungkin gw akan kasih tau sedikit soal apa yang terjadi di hotel room malam itu. Bisa dibilang adegan di kamar hotel bakalan jadi adegan paling intens yang terjadi di sepanjang Before Midnight. Karena di dalam kamar hotel inilah akhirnya perdebatan antara mereka terjadi, bukan sekadar Jesse yang malas bersih-bersih atau soal remeh temeh lainnya, perdebatan itu melibatkan seluruh emosi kedua orang itu. Awalnya di 3 menit pertama kita akan disajikan pemandangan yang intim dari mereka berdua, jujur dari sejak film pertama, Trilogi Before ini memang sedikit dan nyaris gak ada scene di mana Jesse dan Celine beneran mesra-mesraan memadu kasih layaknya film-film Hollywood lainnya yang baru menit-menit awal aja udah nyosor kayak soang haha. Nope, ini gak terjadi di Trilogi Before, setidaknya sampai di saat Jesse dan Celine yang udah sama-sama berusia 41 tahun menghabiskan malam (yang harusnya) romantis di hotel di Yunani. Hadiah menginap semalam ditambah couple massages dari Pattrick kayaknya bakalan sempurna banget buat Jesse dan Celine kalo aja gak ada dering telpon di tengah-tengah sesi making out mereka, hahaha. So typical. Distraction during sex.

Celine yang udah setengah “outdoor” alias topless, harus angkat telepon yang dikiranya emergency call karena si kembar dititipin di rumah Pattrick, nyatanya yang nelepon malah anak tirinya, si Hank. Ya, Hank. Percaya gak, ini hal yang sebenernya sedari awal film bikin Jesse gundah gulana galau gelisah. Wkwk. Hank yang notebennya anak Jesse, nyatanya lebih ngerasa dekat dan nyaman sama Celine. Entah ini si Jesse cemburu karena anaknya lebih deket sama istrinya yang statusnya ibu tirinya atau gimana gitu, intinya si Jesse ini ngerasa yang harusnya punya bonding yang lebih itu ya Hank sama dia, bukan sama si Celine. Mungkin buat bapak-bapak di luar sana dengan kondisi udah cerai dan punya anak yang diasuh sama mantan istri bakalan punya perasaan duka yang sama kayak Jesse.

Sebenernya si Hank nelepon Celine pun bukan yang pengen ngobrol lama-lama atau gimana, Hank Cuma ngasih tau Celine kalo tugas praktikum ilmiah dia ketinggalan di Yunani (kan kemaren abis summer holiday tuh bareng Jesse dan Celine), makanya si Hank minta kirimin tugasnya aja lewat email, dan Celine mengiyakan. Setelah telepon dari si Hank ditutup, belum sempet pemanasan lagi, si Jesse malah curcol ngablu ngomongin soal hubungan antara dia dan Hank yang kurang baik. Dari percakapan itu juga kita dikasih tau kalo hubungan mantan istri Jesse dan Celine tuh gak baik, begitupun dengan si Jesse (kayaknya sih karena kejadian di Before Sunset, Jesse gak lama cerain istrinya dan menjalin hubungan dengan Celine). Ya kurang lebih gitu lah…


Agak mengejutkan kalo dari percakapan itu begitu banyak informasi yang diselipkan sutradara tanpa harus menggunakan metode monolog atau cara lain demi sekadar mendeskripsikan seperti apa mantan istri Jesse. Kalau penonton ingat, tokoh itu hanya sekelibat disebutkan di Before Sunset, Jesse yang kala itu masih menikah dengan mantan istrinya menceritakan kalau istrinya adalah guru SD yang baik, Cuma itu aja. Penonton gak dapet deksripsi lebih seperti apa ibunda Hank. Sampai pada akhirnya, dari perdebatan di hotel room kita tau kalo ibunda Hank adalah seorang pemabuk dan abusive mother (mungkin itu salah satu factor kenapa Hank jadi dekat secara emosional dengan Celine (ya mungkin Celine bisa jadi figur ibu yang baik buat Hank). Tentu, label itu keluar dari mulut Celine, yang lagi-lagi kita gak tau apakah itu Cuma pandangan subjektif Celine aja, atau emang bener kalo mantan istri Jesse seperti itu. Gak ada penjelasan lebih jauh kenapa seorang guru SD yang baik hati bisa berubah drastis jadi ibu yang hobi mabuk dan abusive.

Sikap Jesse yang laid back dan Celine yang keras makin terlihat di Before Midnight. Setiap kali Celine menyinggung soal ibunda Hank yang “gak becus ngurus anak” sehingga Hank terkesan kurang perhatian, terlebih Hank tinggal Bersama ibunya membuat Jesse kesal dan tersinggung. Jesse di sini terlihat berusaha fair dengan gak mau banyak komentar negatif tentang mantan istrinya, di sisi lain, Celine lebih blak-blakan mengungkapkan problematika yang emang nyata terjadi di kehidupan mereka: Jesse yang ngerasa kurang bisa deket sama Hank, Hank yang dirundung bayang-bayang anak broken home, dsbg. Celine berusaha jujur dengan apa yang mereka alami, dan seperti berharap Jesse dan dirinya menemukan solusi untuk memperbaiki apa yang salah dari hidup mereka. Sebaliknya Jesse, si laid back dan passive aggressive selalu berusaha menghindari keributan semacam ini, entah trauma masa lalu karena salah satu akibat perpisahan Jesse dan mantan istrinya adalah ketidakmampuan menyelesaikan konflik internal mereka.

Di tengah-tengah perdebatan mereka yang kayaknya makin panas, Jesse memilih untuk mengalah dan melanjutkan malam romantisnya dengan Celine, sayangnya tensi perdebatan yang udah terlanjur tinggi ngebuat Celine hilang mood untuk membuat malam itu indah. Semakin lama unek-unek yang dilontarkan Celine seperti makin banyak, perdebatan awal soal Hank akhirnya melebar Ketika Celine menyinggung soal keinginan Jesse untuk pindah ke Chicago demi lebih dekat dengan anak laki-lakinya. Celine merasa, selama ini dia udah ngorbanin segalanya buat ngikutin karir Jesse yang seorang novelis.


Scene ini makin lama tensinya makin naik. Semakin Celine ngoceh, si Jesse yang tadinya berusaha kalem-kalem aja yang penting dapet jatah dan bisa bobo nyenyak, akhirnya kepancing juga gengs. Diskusi soal Hank, sebenernya Jesse dan Celine sama-sama mau memberikan kasih sayang ke Hank, bedanya, Celine lebih frontal dengan mau mindahin Hank ke Paris supaya bisa hidup sama mereka, sedangkan Jesse ngerasa gak adil buat Hank kalo harus ngajak dia tinggal di Paris, krn biar gimana Hank masih punya ibu di Amerika. Intinya sih si Jesse ngajak pindah ke Amerika, tapi Celine gak mau krn udah betah di Prancis dan ngerasa useless pindah ke Amerika tapi hak asuh Hank masih ada di mantan istrinya Jesse. Sampe situ aja udah complicated ini obrolan.

Scene ribut-ribut gemas ini semakin Panjang, setidaknya di sudut sempit di kamar hotel mereka udah mendiskusikan buanyak banget hal, soal Hank, soal Celine yang ngerasa udah give up banyak impiannya untuk mendukung karir Jesse, soal Jesse yang ngerasa makin diintimidasi sama cara berpikir Celine dan mungkin Jesse juga udah mulai insyekur sama pekerjaan dia yang Cuma novelis. Sampe puncaknya, Celine yang udah super duper darting sama perdebatan mereka akhirnya menyerah. Kata-kata yang seharusnya gak boleh diucapin itu toh akhirnya terucap. “I don’t think I love you anymore.” Tutup pintu, Celine ninggalin Jesse sendirian di kamar hotel.



Selesai?

Belom. Haha

Celine ternyata pergi dari kamar Cuma mau menenangkan diri… tau kan, kalo kita lagi kesel parah biasanya butuh waktu sendiri, sekedar nepi di trotoar jalan, atau duduk-duduk di depan indomaret point. Malam itu Celine memilih tepi pantai tempat dia dan Jesse memandangi sunset sore tadi.

Layaknya bapak-bapak yang udah berumur, dan suami yang macem udah paham banget watak istri, Jesse nyusulin Celine ke tepi pantai. Kayak otw bujuk-bujuk gemes biar emosi melunak dan mau diajak balik ke hotel, takut masuk angin kalo kelamaan kena angin laut wkwk. Tapi suwer deh, kalian bener-bener harus nonton demi liat usaha Jesse buat meredakan amarah Celine di tepi pantai. It’s all ridiculous yet funny. Jesse mulai ngomong ngablu kalo dia time traveller dari masa depan, dan ngebawa secarik surat dari Celine yang udah berumur 82 tahun. Intinya surat itu berisi petuah Celine tua untuk Celine muda untuk tetap bertahan dengan pria muda yang ada di hadapannya (si Jesse maksudnya), karena dia adalah pria yang ditakdirkan Tuhan untuknya. Pria itu emang punya segudang kekurangan tapi Celine muda akan Bahagia dengannya. Celine tua juga berpesan kalo Celine muda gak perlu banyak khawatir akan ups and downs kehidupan yang dijalani karena semuanya akan baik-baik saja.

Di momen itu mungkin amarah Celine benar-benar perlahan mencair, walopun masih ada kesel-keselnya dikit tapi Celine seakan gak kuat liat tingkah Jesse yang super konyol ngablu ngaku-ngaku time traveller Cuma demi minta maaf ke dia. Celine merasakan betapa Jesse sangat amat mencintainya, mereka seakan Kembali ke masa-masa awal pertemuan mereka di Vienna 18 tahun lalu, bahwa Jesse tidak pernah berubah. Dia selalu jadi teman ngobrol yang asyik buat Celine dengan segala filosofi dan metafora yang dibuatnya. Sampai pada akhirnya, Celine menanggapi jokes Jesse dengan bertanya, gimana cara kerja mesin waktunya? Dan mereka ending up ngablu bersama larut dalam imajinasi Jesse. Pertengkaran pun selesai. Semuanya kembali indah.


THE END.

******

Jadi, gimana kesimpulan Trilogi Before?

Bagus.

Bagus banget.

Di segala aspek bagus.

Dan menurut gw Before Midnight bener-bener jadi penutup yang pas buat Trilogi Before. Indah tapi gak dipaksakan, happy ending tapi gak norak, dan mereka tetep pasangan Jesse dan Celine yang punya segudang masalah hidup, tapi mereka deal with it. Mereka berdamai dengan kondisi kehidupan mereka yang jauh dari sempurna tapi tetap bisa tertawa.

Gw suka setiap detail-detail kecil yang diselipkan sutradara atau tim penulis Trilogi Before. Seperti hobi Celine pake tas selempang, itu terlihat saat Celine masih jadi mahasiswi di La Sorbonne, sampai dia kerja sebagai aktivis lingkungan dan ending up jadi ibu rumah tangga, Celine gak pernah lepas dari tas selempang. Udah kayak tas favorit banget buat dia. Kayak, itu detail banget kan? Detail lainnya, terlihat di scene hotel room, di mana Julie Delpy yang memerankan tokoh Celine sama sekali gak keberatan buat mengekspose bagian atas tubuhnya (payudara maksudnya) di depan kamera, karena anjirr itu bukan payudara khas model-model Victoria's Secret tapi bener-bener payudara emak-emak yang udah nyusuin, yang turun gombleh begitu, tapi dia tetep pede dishoot kamera (maksudnya gini loh, biasanya kalo ada bagian tubuh aktris/aktor yang aslinya kurang bagus gitu, biasanya dicover pake body double/kayak stuntman khusus buat adegan-adegan frontal/nudity gitu biar kesannya tetep punya badan yang perfect) tapi engga di Before Midnight. Sutradara tetap mempertahankan bentuk asli payudara Celine yang… yaudahlah itu real banget, emak-emak yang udah nyusuin pasti bentukannya kayak begitu.   

Intinya trilogi ini bener-bener berkembang. Gak hanya tokohnya tapi juga ceritanya. Pemakaian konsep long shot dan dialog-dialog Panjang tetep dipertahankan tapi dengan substansi yang lebih berkembang. Kalo Before Sunrise berisi obrolan anak muda penuh mimpi dan cinta yang indah dan Before Sunset menunjukkan gimana mereka mulai mengalami pendewasaan baik dalam pola berpikir maupun menyikapi sebuah cinta, maka Before Midnight mengambil tema yang lebih kompleks sekaligus lebih kelam, soal intrik rumah tangga, pengasuhan anak, pekerjaan dan segala hal yang emang real terjadi di kehidupan berumah tangga. Semuanya dibalut tetap dengan gaya Trilogi Before yang mengutamakan kekuatan dialog antar tokoh.

Selanjutnya?

Banyak penggemar setia Trilogi Before mengharapkan ada kelanjutan cerita Jesse dan Celine, entah kisah mereka setelah memasuki usia 50-an, dengan anak-anak yang semuanya sudah beranjak remaja dan sebagainya, tentunya dengan masalah-masalah baru yang terus membuat penonton tidak berkedip. Tapi, gw rasa, kalo emang gak ada lanjutan yang sepadan, lebih baik Trilogi ini berakhir di Before Midnight, karena ending yang begitu indah sudah tersaji. Tinggal sisanya dikembalikan ke interpretasi masing-masing penonton tentang gimana kehidupan Jesse dan Celine selanjutnya. Apakah mereka akan mengikuti jejak kakek Jesse yang menikah hingga 74 tahun lamanya? Atau akan ada intrik-intrik yang terjadi lagi di sepanjang jalan pernikahan mereka. Semua Kembali ke imajinasi kita.

Sekali lagi salut untuk Trilogi Before yang so far jadi satu-satunya sekuel film yang berhasil menurut gw. Semuanya dipikirin secara matang dan seimbang. Berharap suatu saat ada film lokal yang bisa mengikuti jejak Trilogi Before. Menyajikan drama tanpa harus terlampau mendramatisasi, membuat Rom-com tanpa pakai formula yang mainstream, dan menciptakan fiksi yang mendekati kehidupan nyata.

 

Bintang 5 untuk Trilogi Before 😊